SILANGAN SECARA INVITRO (INVITRO POLLINATION)
a. Perkembangan Gametofit Betina
Dalam tumbuhan Angiosperm, gametofit betina di dalam kantong embrio memproduksi inti-inti dalam jumlah terbatas. Jumlah inti dalam gametofit dewasa berjumlah antara 4-16 buah inti, tetapi 80% dari tumbuhan berbunga mempunyai 8 inti. Beberapa tipe gametofit betina yang dikenal, antara lain:
1) Jumlah spora yang berperan dalam pertumbuhan
2) Jumlah pembelahan mitosis setelah pembelahan meiosis dua kali
3) Jumlah total nuklei pada pembelahan sempurna
4) Organisasi seluler dari gametofit masak
Kebanyakan tipe umum gametofit betina adalah delapan nukleat (tipe poligonum):
1) Sel telur bagian terpenting dan menonjol mempunyai struktur yang relatif seragam. Ini berada dalam ujung mikrofil dan diapit oleh dua inti synergid
2) Sinergid tampak berperan aktif dalam pembuatan nutrisi bagi kantong embrio, menarik tabung pollen dan sebagai buffer osmotik untuk melepas isi tabung pollen
3) Sel kutub (sel pusat binukleat) atau sel pusat garam organik berperan sebagai sel induk endosperm setelah fertilisasi
4) Sel antipoda berjumlah tiga bertugas sebagai tempat melakukan metabolisme dan berperan dalam menyuplai nutrisi.
b. Penyerbukan (Polinasi)
Penyerbukan didefinisikan sebagai peristiwa pemindahan atau jatuhnya pollen dari anther pada kepala putik (stigma) baik pada bunga yang sama atau bunga lain yang masih dalam satu spesies. Jika pollen sesuai (compatible), pollen akan berkecambah pada kepala putik dan membentuk sebuah tabung pollen yang akan membawa gamet jantan pada gametofit betina. Suatu senyawa protein tertentu pada awal pembentukan pollen yang disebut Lectin, terdapat di dalan exine dan intine. Lectin berperan penting dalam mekanisme mengenali antara putik-pollen. Namun bila pollen tidak sesui (incompatible), perkecambahan pollen akan terhambat atau pertumbuhan tabung pollen akan tertahan dalam jaringan pemindah. Ketidaksesuaian dapat diwujudkan dalam jaringan baik kepala putik maupun stylus pada berbagai fase sebelum pembuahan (fertilisasi). Karena adanya ketidaksesuaian antara pollen dan stigma maka pekerjaan pemuliaan tanaman adalah mengatasinya agar tetap bisa berlangsung fertilisasi, dengan mengembangkan beberapa metode, antara lain:
1) Polinasi kuncup
2) Polinasi tertunda
3) Polinasi invitro
4) Polinasi intra ovari
Pemanjangan tabung pollen adalah tetap untuk setiap spesies. Ketika butir pollen siap dipencarkan, pollen ini dalam keadaan dormansi dengan kadar air antara 10-15% hampir mirip dengan biji. Pada Gramineae mempunyai umur pollen yang relatif pendek, misalnya pollen Paspalpum akan kehilangan viabilitasnya setelah 30 menit. Kebanyakan pada tanaman berbunga pollen akan mengalami penurunan secara drastis setelah 12 jam mengalami dehiscence. Namun viabilitas pollen dapat diperpanjang dalam keadaan artifisial yaitu bila disimpan pada temperatur dan kelembaban yang rendah.
Pollen akan segera berkecambah setelah beberapa menit dilepas oleh anther, bila ketersediaan dari air, garam anorganik tertentu, termasuk boron dan sumber energi seperti sukrose cukup. Tabung pollen akan masuk ke dalam stigma melalui diantara sel-sel jaringan pemindah di dalam stylus dan akhirnya mencapai ovul. Waktu yang diperlukan pollen untuk mencapai ovul antara 12-24 jam. Waktu yang digunakan untuk proses tersebut setiap spesies tidak sama, seperti pada Taraxacum diperlukan 15 menit sedangkan pada pohon Quercus memerlukan waktu 14 bulan.
c. Pembuahan (Fertilization)
Pada tumbuhan Angiospermae, dua gamet jantan dibawa oleh tabung pollen untuk terjadinya proses fertilisasi. Satu gamet akan melebur dengan inti telur membentuk embrio dan yang lain melebur dengan dua inti kutub membentuk endosperm. Proses ini dikenal sebagai pembuahan ganda. Persilangan sexual suatu cara yang potensial untuk memproduksi tanaman yang superior dengan mengkombinasikan sifat-sifat dalam individu yang berbeda atau spesies atau bahkan genera yang berbeda. Persilangan antar spesies atau takson di atasnya dapat dilakukan dengan salah satu teknik seperti artifisial polinasi dari induk betina dengan pollen dari induk jantan terseleksi.
Tujuan utama program pemuliaan tanaman sampai saat ini adalah untuk meningkatkan hasil (produktivitas) tanaman melalui perbaikan karakter-karakter tanaman dalam kondisi lingkungan pertanaman yang normal maupun cekaman lingkungan. Untuk mencapai tujuan di atas, pemulia menempuh langkah-langkah seleksi populasi, penggabungan karakter yang diinginkan melalui persilangan, perluasan variasi genetik melalui mutasi (bila karakter yang diinginkan tidak ada di alam), atau penyisipan gen untuk memproduksi tanaman transgenik. Langkah-langkah pemuliaan tersebut dapat ditempuh melalui persilangan konvensional maupun modern.
Pemuliaan tanaman secara konvensional telah menghasilkan banyak sekali varietas-varietas unggul, namun juga menghadapi berbagai kendala seperti waktu produksi yang panjang, adanya inkompatibilitas yang sering menyebabkan kegagalan persilangan serta adanya mekanisme dari tanaman sendiri (umumnya pada Angiospermae) untuk mencegah terjadinya self-pollination.
d. Kendala dalam persilangan
Kendala yang sering dihadapi dalam persilangan dalam pemindahan pollen viable dari satu induk ke stigma lain penerima tidak selalu dapat membentuk biji, antara lain disebabkan:
1) Sebelum pembuahan atau sebelum pembentukan zigot (prefertilization atau prezygotic)
a) Incompatibility antara serbuk sari dengan putik sehingga menghambat terjadinya pembuahan
b) Terhambatnya perkecambahan pollen atau tabung pollen gagal mencapai ovul yang disebabkan stylus terlalu panjang atau pertumbuhan tabung pollen yang terlalu pelan sehingga tabung pollen baru mencapai dasar stylus sebelum bengkak (abcises)
c) Tabung pollen pecah di dalam stylus
d) Biochemical incompatibility, yaitu tangkai putik mengeluarkan senyawa kimia tertentu sehingga pollen yang telah berkecambah tadi tidak bisa menembus tangkai putik (stylus) sehingga perkembangan tabung pollen terhenti sampai stylus
e) Pertumbuhan tabung serbuk sari hanya mencapai microphyl.
2) Setelah terjadi pembuahan (post fertilization)
a) Terjadi fusi pada inti-inti gametnya sehingga mencegah pembuahan
b) Pembuahan terjadi tetapi embrio hibrid gagal berkembang hingga masak disebabkan adanya ketidaksesuaian antara embrio-endosperm atau pertumbuhan endosperm sangat miskin
c) Setelah terjadi pembuahan, perkembangan embryo terhambat
d) Tidak terbentuk endosperm yang memadai
e) Biji yang terbentuk terganggu proses penuaannya
f) Biji yang dihasilkan viabilitasnya rendah (menghambat perkecambahan)
Kendala-kendala di atas seringkali menyebabkan kegagalan produksi hibrida. Kendala yang terjadi setelah pembuahan dapat diatasi dengan perkecambahan embrio (embryo culture dan embryo rescue) sedangkan kendala sebelum pembuahan dapat diatasi dengan salah satu teknik kultur jaringan yaitu Invitro pollination atau pembuahan secara invitro
e. Prosedur umum pembuahan invitro
Prosedur pembuahan invitro pada Nicotiana tabaccum adalah sebagai berikut:
1) Pengumpulan pollen
2) Pengujian viabilitas pollen
3) Pembuahan in-vitro, ada dua teknik yaitu:
a) Stigma fertilization
b) Placenta fertilization
1) Pengumpulan/koleksi pollen (serbuk sari)
Tahapan pertumbuhan pollen sangat menentukan keberhasilan pembuahan, oleh karena itu harus dipilih benang sari yang telah berkembang penuh dan siap membuka (sesaat sebelum pollen disebarkan oleh benang sari). Benang sari ini disterilkan lalu didalam laminar air flow pollen tersebut dikumpulkan ke atas gelas mikroskop.
2) Test viabilitas pollen
Viabilitas pollen dapat diukur dengan cara menguji sebagian kecil pollen yang telah dikumpulkan. Caranya adalah mengkulturkan/ mengecambahkan pollen tadi ke dalam media yang mengandung sucrose (10%), boric acid (0,01%), CaCl2.2H2O dan agar (0,75%). Obseervasi dilakukan dibawah mikroskop terhadap perkecambahan pollen.
3) Penyerbukan invitro
Secara terminologi penyerbukan invitro dibedakan menjadi 3 metode, yaitu:
a) Penyerbukan kepala putik (stigma pollination)
Yaitu teknik penyerbukan dengan cara menaburkan serbuk sari langsung ke atas tangkai putik (stylus) dengan cara terlebih dahulu memotong kepala putiknya (stigma). Putik yang tidak memiliki stigma ini terlebih dahulu dikulturkan dalam botol kultur dengan media yang sesuai.
b) Penyerbukan plasenta (placental pollination)
Yaitu teknik penyerbukan dengan cara menaburkan serbuk sari (pollen) langsung ke atas placenta (tali pusat) yang terdapat dalam badan buah (ovule) dengan cara terlebih dahulu memotong badan buah pada pistil sampai ovule sehingga placentanya terlihat, bagian ini dikulturkan dalam botol kultur baru kemudian dilakukan penyerbukan dengan meletakkan pollen langsung di atas placenta.
c) Penyerbukan bakal biji (ovular pollination)
Yaitu penyerbukan secara artifisial dengan cara menaburkan pollen langsung pada bakal biji (ovule) dengan cara mengeluarkan ovule dari ovarium (bakal buah) terlebih dahulu.
Keberhasilan dari teknik polinasi invitro sangat tergantung pada:
1) Eksplan butir pollen dan ovul pada fase perkembangan yang tepat
2) Pemilihan media yang tepat yang dapat memacu perkecambahan tabung pollen dan perkembangan embrio.
Beberapa aspek biologi pembungaan harus dikuasai, seperti:
1) Anthesis
2) Dehiscence anther
3) Polinasi
4) Perkecambahan pollen
5) Pertumbuhan tabung pollen
6) Penetrasi ovul
7) Fertilisasi
8) Perkembangan embrio dan endosperm.
Selasa, 27 Oktober 2009
Kamis, 22 Oktober 2009
BUDIDAYA MELON
1. SEJARAH SINGKAT
Melon (Cucumis melo L.) merupakan tanaman buah termasuk famili Cucurbitaceae, banyak yang menyebutkan buah melon berasal dari Lembah Panas Persia atau daerah Mediterania yang merupakan perbatasan antara Asia Barat dengan Eropa dan Afrika. Dan tanaman ini akhirnya tersebar luas ke Timur Tengah dan ke Eropa. Pada abad ke-14 melon dibawa ke Amerika oleh Colombus dan akhirnya ditanam luas di Colorado, California, dan Texas. Akhirnya melon tersebar keseluruh penjuru dunia terutama di daerah tropis dan subtropis termasuk Indonesia.
2. JENIS TANAMAN
Jenis-jenis melon yang terkenal adalah: melon Christianism (1850); melon Sill Hybrid (1870); melon Surprise (1876); melon Ivondequoit, Miller Cream, Netted Gem, Hacken Sack dan Osage (1881–1890); melon Honey Rock dan Improved Perfecto (1933); melon Imperial (1935); melon Queen of Colorado dan Honey Gold (1939). Untuk memudahkan sistem penanaman dan pengelompokan melon, para ahli mengklasifikasikan melon dalam dua tipe, yaitu:
1) Tipe Netted-Melon
a. Ciri-ciri: kulit buah keras, kasar, berurat dan bergambar seperti jala (net); aroma relatif lebih harum dibanding dengan winter–melon; lebih cepat masak antara 75–90 hari; awet dan tahan lama untuk disimpan.
b. Varietas: (1) Cucumis melo var. reticulatus, buah kecil, berurat seperti jala dan harum; (2) Cucumis melo var. cantelupensis, buah besar, kulit bersisik dan harum.
2) Tipe Winter-Melon
Ciri-ciri: kulit buah halus, mengkilat dan aroma buah tidak harum; buah lambat untuk masak antara 90–120 hari; mudah rusak dan tidak tahan lama untuk disimpan; tipe melon ini sering digunakan sebagai tanaman hias.
Varietas: (1) Cucumis melo var. inodorous, kulit buah halus, buah memanjang dengan diameter 2,5–7,5 cm; (2) Cucumis melo var. flexuosus, permukaan buah halus, buah memanjang antar 35–70 cm; (3) Cucumis melo var. dudain, ukuran kecil-kecil, sering untuk tanaman hias; (4) Cucumis melo var. chito, ukuran buah sebesar jeruk lemon, sering digunakan sebagai tanaman hias.
3. MANFAAT TANAMAN
Buah melon dimanfaatkan sebaga makanan buah segar dengan kandungan vitamin C yang cukup tinggi.
4. SENTRA PENANAMAN
Sebelum tahun 1980, buah melon hadir di Indonesia sebagai buah impor. Kemudian banyak perusahaan agribisnis yang mencoba menanam melon untuk dibudidayakan daerah Cisarua (Bogor) dan Kalianda (Lampung) dengan varietas melon dari Amerika, Taiwan, Jepang, Cina, Perancis, Denmark, Belanda dan Jerman. Kemudian melon berkembang di daerah Ngawi, Madiun, Ponorogo sampai wilayah eks-keresidenan Surakarta (Sragen, Sukoharjo, Boyolali, Karanganyar dan Klaten). Daerah-daerah tersebut merupakan pemasok buah melon terbesar dibandingkan dengan daerah asal melon pertama.
5. SYARAT TUMBUH
5.1. Iklim
Angin yang bertiup cukup keras dapat merusak pertanaman melon, dapat mematahkan tangkai daun, tangkai buah dan batang tanaman.
Hujan yang terus menerus akan menggugurkan calon buah yang sudah terbentuk dan dapat pula menjadikan kondisi lingkungan yang menguntungkan bagi patogen. Saat tanaman melon menjelang panen, akan mengurangi kadar gula dalam buah.
Tanaman melon memerlukan penyinaran matahari penuh selama pertumbuhannya.
Tanaman melon memerlukan suhu yang sejuk dan kering untuk pertumbuhannya. Suhu pertumbuhan untuk tanam melon antara 25–30 derajat C. Tanaman melon tidak dapat tumbuh apabila kurang dari 18 derajat C.
Kelembaban udara secara tidak langsung mempengaruhi pertumbuhan tanaman melon. dalam kelembaban yang tinggi tanaman melon mudah diserang penyakit.
5.2. Media Tanam
Tanah yang baik untuk budidaya tanaman melon ialah tanah liat berpasir yang banyak mengandung bahan organik untuk memudahkan akar tanaman melon berkembang. Tanaman melon tidak menyukai tanah yang terlalu basah.
Tanaman melon akan tumbuh baik apabila pH-nya 5,8–7,2.
Tanaman melon pada dasarnya membutuhkan air yang cukup banyak. Tetapi, sebaiknya air itu berasal dari irigasi, bukan dari air hujan.
5.3. Ketinggian Tempat
Tanaman melon dapat tumbuh dengan cukup baik pada ketinggian 300–900 meter dpl. Apabila ketinggian lebih dari 900 meter dpl tanaman tidak berproduksi dengan optimal.
6. PEDOMAN BUDIDAYA
6.1. Pembibitan
1) Persyaratan Benih
Tanaman melon yang sehat dan berproduksi optimal berasal dari bibit tanaman yang sehat, kuat dan terawat baik pada awalnya. Benih direndam kedalam larutan Furadam dan Atonik selama 2 (dua) jam. Benih yang baik berada di dasar air, dan benih yang kurang baik akan mengapung di atas permukaan air. Oleh sebab itu pembibitan merupakan kunci keberhasilan suatu agribisnis melon.
2) Penyiapan Benih
a) Pengadaan benih secara generatif
Fase generatif ditandai dengan keluarnya bunga. Pada fase ini tanaman memerlukan banyak unsur fosfor untuk memperkuat akar dan membentuk biji pada buah. Pada fase ini apabila tanaman dalam kondisi sehat maka jaringjaring pada buah diharapkan muncul secara merata. Untuk mendukung pertumbuhan generatif, tanaman disemprot dengan pupuk daun Complesal super tonic (merah) dengan konsentrasi 2 gram/liter seminggu sekali. Untuk mencegah kekurangan unsur kalsium dan boron maka tanaman disemprot dengan pupuk daun Ferti-cal dengan konsentrasi 2 ml/liter atau CaB dengan konsentrasi 2 ml/liter.
b) Pengadaan benih secara vegetatif (Kultur Jaringan)
Dengan metoda kultur jaringan, pemilihan media tanam dan sumber eksplan yang digunakan haruslah tepat agar memberikan hasil yang maksimal. Media dasar yang dipakai tersusun dari garam-garam berdasarkan susunan Murashige & Skoog (1962) dengan penambahan thiamin 0,04 mg/liter, myoinositol 100 mg/liter, surkosa 30 gram/liter berbagai kombinasi hormon tanaman yang ditambahkan sesuai dengan perlakuan. Media dibuat dalam bentuk padat dengan penambahan agar bacto 8 gram/liter, pH media dibuat 5,7 dengan penambahan NaOH atau HCl 0,1 N. sterilisasi media dilakukan dengan autoklaf bertekanan 17,5 psi, suhu 120 derajat C selama 30 menit.Tanaman yang didapat dari kultur jaringan membentuk bunga jantan dan bunga betina separti halnya tanaman yang didapat dari biji.
c) Sumber benih
Untuk menanam melon kita harus mengetahui sumber benihnya terlebih dahulu. Sebaiknya selalu menggunakan benih asli (F1 hibrid).
d) Cara penyimpanan benih
Benih harus disimpan ditempat yang kering dan tempat untuk menyimpan benih dapat dibuatkan rumah pembibitan yang sederhana karena mengingat umur benih hanya selama 10–14 hari, karena untuk melindungi benih tanaman yang masih muda dari terik sinar matahari, air hujan, dan serangan hama maupun penyakit. Alas rumah pembibitan, tempat polibag diletakkan dilapisi kertas koran agar perakaran bibit tidak menembus ke dalam tanah.
e) Kebutuhan benih
Benih yang dibutuhkan sesuai dengan luas tanam ditambah 10% untuk cadangan penyulaman.
f) Perlakuan benih
Benih melon memerlukan perlakuan yang lebih sederhana dibandingkan dengan benih semangka non-biji. Hal ini karena kulit melon cukup tipis sehingga tidak memerlukan perlakuan ekstra. Perlakuan untuk benih melon adalah pencucian, perendaman, serta pemeraman benih.
3) Teknik Penyemaian Benih
a) Cara dan Waktu Penyemaian
Benih melon yang akan disemaikan, direndam terlebih dahulu di dalam air selama 2–4 jam. Kemudian benih disemaikan pada kantong plastik, yang telah diisi tanah dan pupuk kandang yang dicampur dengan perbandingan 5:1. Benih disemaikan dalam posisi tegak dan ujung calon akarnya menghadap ke bawah. Benih ditutup dengan campuran abu sekam dan tanah dengan perbandingan 2:1 yang telah disiapkan, agar tanaman dapat tumbuh dengan baik, tidak mudah rebah. Untuk merangsang perkecambahan benih dengan
menciptakan suasana hangat maka tutuplah permukaan persemaian dengan karung goni basah. Apabila kecambah telah muncul kepermukaan media semai (pada hari ke-3 atau ke-4) maka karung goni dapat dibuka.
b) Pembuatan Media Semai
Melon termasuk tanaman yang tidak terlalu menuntut media semai yang khusus untuk pembibitannya. Medianya dapat dibuat dengan berbagai variasi, contohnya dengan mencampurkan tanah, pasir dan pupuk kandang atau kompos, asal perbandingannya sesuai misalnya 1:1:1. Untuk mendapatkan hasil bibit melon yang kekar dan sehat maka komposisi media semai yang tepat terdiri dari campuran tanah, pupuk kandang, pupuk SP-36 atau NPK ditambah dengan insektisida karbofuran.
4) Pemeliharaan Pembibitan/Penyemaian
Setelah benih disemai di polybag akan tumbuh menjadi calon bibit, dan harus mendapatkan pemeliharaan yang baik agar menjadi bibit melon yang sehat dan kekar.
a) Cara dan Waktu Penyiraman
Bibit dipersemaian di siram setiap pagi hari. Mulai dari kecambah belum muncul sampai bibit muncul kepermukaan tanah. Untuk penyiraman digunakan tangki semprot. Saat menyemprot untuk penyiraman jangan terlalu kuat karena akan mengikis tanah media dan melemparkan benih atau kecambah keluar dari
polibag. Apabila daun sejati keluar, penyiraman bibit baru dapat dilakukan embrat atau gembor. Saat cuaca panas, tanah pada polybag kering dan penyiraman perlu diulangi pada sore hari, jangan menyiram bibit tanaman pada siang hari karena akan menyebabkan air dan zat-zat makanan tidak dapat terserap akibatnya bibit menjadi kurus, kering dan layu.
b) Penjarangan
Penjarangan dilakukan dengan tujuan untuk menyiapkan bibit-bibit yang sehat dan kekar untuk ditanam. Penjarangan ini mulai dilakukan 3 hari sebelum penanaman bibit ke lapangan. Bibit yang mempunyai pertumbuhan seragam dikumpulkan menjadi satu. Bibit-bibit yang pertumbuhannya merana
disingkirkan dan tidak ditanam.
c) Pemupukan
Untuk pertumbuhan vegetatif bibit dapat dipacu dengan penyemprotan pupuk daun yang mengandung unsur nitrogen tinggi. Pupuk daun cukup dilakukan satu kali, yaitu pada saat umur bibit 7–9 HSS dengan konsentrasi 1,0–1,5 gram/liter. Pupuk akar berupa pupuk kimia maupun pupuk organik tidak perlu ditambahkan selama pembibitan karena pupuk akar yang diberikan pada media semai telah mencukupi.
d) Pemberian Pestisida Pada Masa Pembibitan
Pada masa pembibitan penyemprotan pestisida dilakukan apabila dianggap perlu. Konsentrasi penuh akan menyebabkan daun-daun bibit melon ini terbakar (plasmolisis). Penyomprotan ini dilakukan terutama pada saat 2-3 hari sebelum bibit ditanam dilapangan. Contoh pestisida yang digunakan adalah Insektisida Dicarzol 0,5 g/liter dan fungisida Previcur N 1,0 ml/liter.
5) Pemindahan Bibit
Bibit melon dipindahkan ke lapangan apabila sudah berdaun 4–5 helai atau
tanaman melon telah berusia 10–12 hari. Cara pemindahan tidak berbeda dengan
cara pemindahan tanaman lainnya, yaitu kantong plastik polibag dibuang secara
hati-hati lalu bibit berikut tanahnya ditanam pada bedengan yang sudah dilubangi
sebelumnya, bedenganpun jangan sampai kekurangan air.
6.2. Pengolahan Media Tanam
1) Persiapan
a) Pengukuran pH Tanah
Pengukuran pH tanah dengan menggunakan alat pH meter. Tanah yang akan di ukur dibasahi terlebih dahulu. Pengambilan sampel dilakukan di 10 titik yang berbeda, kemudian dihitung pH rata-rata.
b) Analisis Tanah
Berdasarkan fakta di lapangan tanaman melon dapat ditanam pada berbagai jenis tanah terutama tanah andosol, latosol, regosol, dan grumosol, asalkan kekurangan dari sifat-sifat tanah tersebut dapat dimanipulasi dengan pengapuran, penambahan bahan organik, maupun pemupukan.
c) Penetapan Waktu/Jadwal Tanam
Penetapan waktu tanam berkaitan dengan perkiraan waktu panen suatu varietas melon yang ditanam dan waktu panen varietas melon lainnya. Misalnya waktu tanam melon pada bulan Maret adalah varietas ten me, April varietas aroma, Mei varietas new century (hamiqua) dan seterusnya sehingga petani/pengusaha agribisnis perlu menjadwal waktu tanaman varietas melon yang dikehendaki pelanggan.
d) Penetapan Luas Areal Penanaman
Penetapan luas penanaman berkaitan erat dengan pemilikan modal, luas lahan yang tersedia, musim dan permintaan pasar. Tanaman melon yang diusahakan di lahan terbuka di musim hujan akan rusak terserang penyakit karena terguyur hujan terus-menerus. Maka penanaman melon di musim hujan lebih diarahkan
dengan sistem hidroponik.
e) Pengaturan Volume Produksi
Pengaturan volume produksi berkaitan erat dengan perkiraan harga pada saat panen dan permintaan pasar. Cara penanaman melon dilakukan secara bertahap. Misalnya penanaman pertama 20% di lokasi A, kedua 40% di lokasi B, dan ketiga 40% di lokasi C. Interval penanaman berkisar 2 minggu. Pengaturan ini lazim dilakukan pada agribisnis melon dengan system hidroponik. Untuk menjaga kontinuitas produksi, biasanya interval tanamnya berselang 1-2 minggu.
2) Pembukaan Lahan
a) Pembajakan
Untuk penanaman melon di dataran menengah-tinggi, struktur tanah biasanya sudah sangat remah sehingga tidak memerlukan pembajakan. Lahan yang dibajak harus digenangi air lebih dahulu selama semalam, kemudian keesokan harinya dilakukan pembajakan ini cukup untuk membalik tanah sehingga cukup dilakukan sekali dengan kedalaman balikan sekitar 30 cm.
b) Penggarukan dan Pencangkulan Lahan Serta Waktu Lahan Siap Tanam
Untuk pencangkulan dan penggarukan, keadaan tanahnya harus cukup kering. Karena kita bisa mudah membentuk tanah yang semula berbongkah-bongkah dan cukup liat, tanah yang beremah-remah dan cukup sarang (mudah diserap air). Dengan tanah tersebut akan menguntungkan tanaman. Selain perakarannya mudah menembus tanah, juga akan mudah bernapas. Cara-cara pencangkulan adalah sebagai berikut:
Mula-mula lakukan pembalikan tanah (tanahnya masih berbongkah-bongkah.
Tanah dari hasil pencangkulan pertama dihaluskan atau dihancurkan, dengan kedalaman ± 30–50 cm. (untuk dua kali cangkulan)
Pencangkulan dilakukan kalau keadaan tanahnya betul-betul sudah dikategorikan ke dalam tanah berat. Jika tidak, sekali cangkul tanah sudah cukup beremah dan kita dapat mengerjakan pekerjaan yang lain.
3) Pembentukan Bedengan
a) Cara Pembuatan
Selama 5–7 hari lahan dibiarkan kering setelah dibajak (atau dibalik). Proses ini akan membuat tanah menjadi lengket dan berbongkah sehabis dibajak menjadi agak hancur karena mengalami proses pengeringan matahari dan penganginan. Selama proses tersebut beberapa senyawa kimia yang beracun dan merugikan tanaman dan akan hilang perlahan-lahan. Setelah kering, bongkahan tanah dibuat petakan dengan tali rafia untuk membentuk bedengan dengan ukuran panjang bedengan maksimum 12–15 m; tinggi bedengan 30–50 cm; lebar bedengan 100–110 cm; dan lebar parit 55–65 cm.
b) Bentuk Bedengan
Bedengan dibentuk dengan cara mencangkuli bongkahan tanah menjandi struktur tanah yang remah/gembur. Bila telah bentuk bedengan terlihat, baik itu bedengan kasar/setengah jadi bedengan tersebut dikeringanginkan lagi selama seminggu agar terjadi proses oksidasi/penguapan dari unsur-unsur beracun ada hingga menghilang tuntas.
c. Ukuran dan Jarak Bedengan
Dengan panjang maksimum 15 m tersebut akan memudahkan perawatan tanaman dan mempercepat pembuangan air, terutama di musim hujan. Tinggi bedengan dibuat sesuai dengan musim dan kondisi tanah. Pada musim hujan tinggi bedengan 50 cm agar perakaran tanaman tidak terendam air jika hujan
deras. Dan pada musim kemarau tinggi bedengan cukup 30 cm, karena untuk memudahkan perawatan pada saat bedengan digenangi. Parit dibuat dengan lebar 55–65 cm adalah untuk memudahkan perawatan pada saat penyemprotan, pemasangan ajir, maupun penalian.
4) Pengapuran
Dengan pengapuran akan menambah unsur hara kalsium yang diperlukan untuk dinding sel tanaman. Pengapuran dapat menggunakan dolomit/calmag (CaCO3 MgCO3) kalsit/kaptan (CaCO3). Setelah diperoleh pH rata-rata, penentuan kebutuhan dapat dilakukan dengan menggunakan data berikut ini :
a) <>10,24 ton/ha
b) 4,2 (sangat asam): jumlah kapur 9,28 ton/ha
c) 4,6 (asam): jumlah kapur 7,39 ton/ha
d) 5,4 (asam): jumlah kapur 3,60 ton/ha
e) 5,6 (agak asam): jumlah kapur 2,65 ton/ha
Bunga Krisan Menghias Harapan
Peluang usaha bunga krisan (chrysanthemum) di Jawa Timur (Jatim) tampak semakin berkembang. Ini ditandai makin banyaknya permintaan terhadap bunga hias ini di pasaran dan bermunculannya petani bunga ini di daerah-daerah di Jatim. Di Kecamatan Tutur Nongkojajar, Kabupaten Pasuruan, misalnya, sejak 4-5 tahun belakangan, setidaknya ada sekitar sepuluh petani bunga yang membudidayakan bunga warna-warni itu. Ketertarikan petani bunga itu tidak lepas karena mereka melihat peluang baru yang cukup menguntungkan, selain budidaya apel yang selama ini menjadi andalan di daerah itu.
Kawasan Tutur Nongkojajar yang berketinggian lebih dari 1.000 meter di atas permukaan laut (dpl) itu memang cocok untuk budidaya bunga krisan (ketinggian yang cocok untuk krisan: 700-1200 dpl, red). Di beberapa lokasi tampak sejumlah rumah plastik (green house) yang digunakan menanam aneka jenis bunga krisan, karena bunga yang berasal dari negeri Belanda ini memang membutuhkan naungan agar bisa hidup subur. Perlakuan bunga krisan agaknya cukup istimewa, di mana pada usia tanaman hingga 40 hari membutuhkan lampu dan ketersediaan sarana produksi yang tepat mencakup pupuk organik dan anorganik, zat pengatur tumbuh, kapur pertanian dan pestisida.
Hantoko, 45 tahun, salah seorang petani bunga krisan asal Desa Wonosari, yang kebun krisannya berada di Desa Belarang, Kec. Tutur Nongkojajar, mengatakan kebutuhan bibit bunga krisan selama ini dipasok oleh PT Saung Nirwan dari Bogor, yang merupakan pemasok tunggal kepada petani di kawasan tersebut. Perusahaan itu dikabarkan melakukan perbanyakan bibit dengan teknologi kultur jaringan dan mendatangkan induk dari Belanda.
Sejak mulai menjajal pembudidayaan krisan, Hantoko pernah mencoba menanam dari bibit yang tidak dikembangkan di daerah Jawa barat itu, namun dari daerah lain seperti dari Jawa Tengah atau Jatim sendiri. Alhasil, diakui, daya tahan tanaman dinilai kurang kuat, dan bunga yang tumbuh juga tidak begitu bagus. Karena itu, ia kembali mengambil bibit dari Bogor.
Biasanya, kata pria yang pernah aktif di Pordasi (Persatuan Olahraga Berkuda Seluruh Indonesia) Jatim itu, bibit-bibit krisan dikirim dua kali seminggu. Katanya, itu tidak terlepas dari pola tanam yang dikembangkannya selama ini. Artinya, dengan pola tanam yang diatur waktunya sedemikian rupa, memungkinkan tanaman itu bisa dipanen setiap hari. Sehingga, “Saya bisa memasok kebutuhan pasar kapan pun permintaan itu datang, dalam jumlah besar sekalipun,” jelasnya.
Harga bibit bunga krisan 150 ribu batang berumur 2 minggu, ungkapnya, mencapai Rp 37.5 juta. Itu belum termasuk dana pembuatan rumah plastik terdiri dari naungan plastik dan kerangka bambu. “Secara keseluruhan, dana yang diperlukan untuk usaha penanaman bunga krisan berupa pembuatan green house berkapasitas 150 ribu bibit mencapai Rp 100 juta,” tuturnya seraya menerangkan bahwa petani di Tutur biasa membangun rumah plastik berkapasitas 150 ribu bibit.
Dia tidak merinci berapa hasil bersih dari pembudidayaan bunga krisan sebanyak itu. Yang jelas, tanaman bunga krisan dapat dipetik atau dipanen setelah umur 3 bulan, di mana setiap bibit bisa menghasilkan lebih dari satu tangkai. Di awal pertumbuhannya, bunga krisan perlu dibantu penerangan lampu listrik hingga berumur 40 hari atau ketinggian 40 sentimeter.
Namun, penanaman bunga krisan bukannya tidak ada kendala, karena terdapat hama dan penyakit yang bisa menyerang tanaman tersebut, seperti ulat tanah yang memakan ujung batang tanaman muda. Pengendalian hama tersebut dengan menyemprotkan insektisida Decis 2,5 EC, Curacron 500 EC ataupun mengumpulkan ulat-ulat yang ada untuk dimusnahkan serta menjaga kebersihan kebun.
Hama penting lainnya yang dapat dikendalikan secara kimiawi dengan menyemprotkan insektisida adalah thrips yang mengakibatkan gejala keriting dan berkerutnya daun, ulat putih yang mengisap cairan sel daun, tungau merah menimbulkan kematian pucuk tanaman, pengorok daun mengakibatkan daun menggulung, dan ulat grayak yang mengakibatkan daun gundul.
Kaya Warna dan Tahan Lama
Keistimewaan bunga krisan sehingga banyak disukai adalah karena jenis atau varietasnya banyak, warna-warni, dan berdaya tahan lebih lama dari bunga lainnya. Jumlah varietas bunga potong ini mencapai 50 lebih, bahkan konon jauh lebih banyak lagi. Hebatnya, setiap jenis warnanya amat beragam. Di kawasan Kecamatan Tutur Nongkojajar saja, bunga yang ditengarai mudah diperbanyak secara vegetatif terutama setek atau kultur jaringan itu, diklaim warnanya terdiri dari 48 lebih.
Namun, diakui Hantoko, petani bunga di kawasan ini tidak mengembangkan jenis sebanyak itu. Tiap petani bunga, paling tidak, hanya menanam antara 10-15 jenis. “Petani bunga di sini tidak akan menanam jenis yang tidak laku di pasaran. Selama bertahun-tahun menekuni budidaya krisan, kita tahu mana bunga yang disukai pasar dan mana yang tidak. Kita tidak main spekulasi,” tandas pria bergaya koboi ini.
Hantoko sendiri menanami kebun krisannya sekitar 11 jenis saja. Kesebelas krisan itu diantaranya; Langen Vallen Van, Fiji, Fiji White, Fiji Yellow Improved, Puma Sunny, Puma, Reagen Carera, Stroika, TownTalk, 2001-04, dan 2001-01.
Menurutnya, meski jenisnya banyak, sebenarnya krisan bisa dibagi dalam dua golongan, yaitu standart dan sprai. Bunga standart dapat dicirikan, satu tangkai hanya tumbuh satu kelopak bunga dan ukurannya agak besar. Sedangkan bunga sprai, biasanya satu tangkai bisa tumbuh banyak bunga dengan ukuran lebih kecil.
Warna masing-masing sama banyaknya. Ada kuning, putih, ungu, hijau, kuning-hijau, merah-putih, dan puluhan warna lainnya. Dikatakan, sejauh ini warna yang banyak diminati adalah putih, kuning, dan hijau. Warna-warna lain juga disukai, namun menurutnya, persentasenya tidak banyak.
Istimewanya lagi, krisan memiliki daya tahan lebih, hingga dua minggu setelah dipotong. Bahkan, katanya, bila bunga krisan diletakkan di vas bunga, akan mampu bertahan lebih lama lagi, asal rajin memangkas tangkainya setiap hari atau dua hari sekali sepanjang setengah sentimeter dari pangkal tangkai. Kemampuan daya tahan lebih lama ini juga yang, katanya, membuat krisan banyak diburu pembeli.
Harga Stabil
Warna-warni krisan yang elok memang cocok untuk hiasan berbagai acara. Hantoko menyebutkan, kota-kota besar di Jatim yang tergolong tinggi daya serapnya adalah Surabaya dan Malang. Permintaan bunga krisan mencapai puncak bertepatan dengan berlangsungnya hajatan perkawinan, yang biasanya banyak dilakukan di bulan Besar dalam kalender Jawa. Kalau kemudian musim kawin di kota-kota besar seperti Surabaya diadakan di ulan mana saja, tentu memberi keuntungan lebih pada petani bunga.
Selain itu, krisan juga kerap dibutuhkan untuk acara-acara lain, meski diakui volumenya tidak cukup besar, seperti hiasan untuk ruang seminar, peluncuran produk, pembukaan gedung maupun lainnya. Apalagi, sejauh pengamatan Handoko, kesukaan orang terhadap bunga plastik mulai bergeser, dan lebih memilih bunga segar.
“Harga jual bunga krisan cukup stabil, yaitu Rp 1.000 per tangkai,” tukasnya. Biasanya, krisan dijual dalam kemasan yang dibungkus kertas putih. Setiap bungkus berisi 10 tangkai. Harga itu untuk krisan sprai. Sementara krisan standart, harganya selisih antara Rp 100-Rp 200 lebih mahal dari krisan sprai karena, menurut Hantoko, bunganya lebih besar.
Dulu, di awal membuka pembudidayaan krisan, Hantoko terpaksa membuka jalur pemasaran sendiri menggunakan mobil boksnya, ke Malang hingga Surabaya. Penawaran langsung itu, katanya, dilakukan setiap dua atau tiga hari sekali. Bahkan, ketika permintaan sedang ramai, seperti pada musim hajatan perkawinan, hampir tiap hari berkeliling ke kota-kota.
Namun, setelah sekian tahun berjalan, jalus bisnisnya dipermudah dengan hanya lewat telepon. Kini, katanya, tidak perlu lagi mengirim langsung ke pasaran karena banyak perusahaan agen bunga yang datang sendiri. Biasanya, mereka datang tiap dua hari sekali, silih berganti. Katanya, permintaan dari Malang lebih banyak perorangan untuk kebutuhan hiasan, sementara permintaan dari Surabaya kebanyakan adalah agen-agen besar, yang menyuplai pasar-pasar bunga, seperti pasar bunga Kayun Surabaya.
Diakui, dengan lahan sekitar 5000 meter persegi yang dimilikinya sekarang, dirinya tidak pernah merasa kekurangan memenuhi permintaan yang datang. Menggunakan program tanam, ia dengan leluasa bisa mengatur masa panen. Ketika masa sepi, seperti pada bulan Syuro dan puasa, tidak seluruh lahannya ditanami, begitu pula sebaliknya.
Memelihara lahan seluas itu, ia dibantu sekitar 10 orang karyawan. Dan rata-rata setiap hari menjual 300-400 bungkus. Kalau harga per tangkainya Rp 1.000 di tingkat petani bunga, artinya setiap hari ia sanggup meraup omset senilai Rp 3-Rp 4 juta. Karena itulah ia digolongkan sebagai petani besar diantara petani lainnya di kawasan itu.
Para pedagang di toko-toko bunga di Pasar Kayun Surabaya, mengakui permintaan bunga potong krisan semakin meningkat. E. Soenarko, pemilik Toko Bunga Naniek di Pasar Bunga Kayun Surabaya, mengungkapkan permintaan bunga krisan sejak beberapa tahun terakhir menduduki peringkat kedua sesudah mawar, dan kebutuhan terbesar diakui kebanyakan untuk keperluan hajatan perkawinan. Dia memperkirakan, selain krisan indah dipandang karena memiliki banyak jenis dan warna, juga karena krisan mampu bertahan tidak layu dalam masa yang lama itulah yang menjadi penyebab semakin diminatinya bunga tersebut.
"Bunga krisan kini bahkan menjadi bunga utama untuk dekorasi penganten. Volumenya paling banyak dibandingkan jenis bunga lainnya," akunya. Warna krisan paling banyak diminati, menurutnya, memang krisan putih dan kuning, kendati warna-warna lain kerap diselipkan untuk menambah pesona dekorasi.
Soenarko menambahkan, sejauh ini volume kebutuhan bunga krisan banyak dipasok dari perusahaan perdagangan bunga potong yang mendatangkannya dari Jawa Barat seharga Rp 15 ribu per bungkus berisi 10 tangkai," ujarnya. Ada juga pasokan dari petani lokal Jatim yang memasok harga Rp 12.500 per bungkus berisi 10 tangkai di tingkat pasar bunga Kayun Surabaya.
Hal senada dikatakan Andre, penjaga toko bunga Ina FM di Pasar Bunga Kayun Surabaya. Diakui, selama ini pihaknya banyak memenuhi pesanan pembuatan papan ucapan selamat dari perusahaan-perusahaan. Seperti diketahui, papan-papan karangan bunga seperti itu akan dipajang berhari-hari. Sehingga membutuhkan bunga yang mampu bertahan lama, dan krisanlah yang mampu mempercantik penampilan dengan warna-warni bunganya, terutama juga karena krisan tidak cepat layu seperti bunga lainnya.
Meski diakui kebutuhan akan krisan makin meningkat, tapi pihaknya tidak menjual bunga eceran, termasuk krisan. Sebab, lanjutnya, kebutuhan bunga dirasa cukup banyak untuk pendukung papan ucapan selamat yang dijual sekitar Rp 200 ribu itu. Setidaknya, setiap minggu, lebih kurang 4-5 papan dibuatnya.
Biasanya, sambungnya, bunga krisan dikirim oleh agen setiap tiga hari sekali. Krisan itu kabarnya didatangkan dari Kota Batu, Jatim. Setiap dikirim, ia mengambil antara 10-15 bungkus dengan harga Rp 15 ribuan per bungkus berisi 10 tangkai. Kebutuhan menghias papan dengan bunga krisan, katanya, antara 2-3 bungkus tiap papan ucapan selamat.
Seperti diketahui, untuk memenuhi kebutuhan di pasar bunga Kayun Surabaya saja, masih harus mendatangkan pasokan dari daerah lain karena, seperti diakui pedagang bunga, terbatasnya pasokan dari Jatim. Kebutuhan akan krisan justru banyak didatangkan dari Jawa Tengah bahkan Jawa Barat. Padahal, di Jatim telah banyak petani bunga yang membudidayakan bunga krisan. Seperti di Pasuruan (Tutur Nongkojajar), Malang (Batu), Mojokerto (Pacet), dan Jombang (Wonosalam).
Di Kecamatan Tutur Nongkojajar Pasuruan saja, tidak kurang terdapat 10 petani bunga. Kabarnya, ini merupakan jumlah terbesar di Jatim. Dalam perhitungan kasar, ungkap Hantoko, dari petani bunga di Pasuruan setidaknya sekitar 200 ribu tangkai tersebar di pasaran Jatim. “Jumlah itu bukan angka yang besar, karena kalaupun dikumpulkan dari seluruh kebun krisan di seluruh Jatim, hanya memenuhi kebutuhan pasar sekitar 40 persen. Sisanya yang 60 persen dipasok dari luar daerah, seperti dari Jawa Tengah dan Jawa Barat,” paparnya, memperkirakan.
Dengan demikian, katanya, peluang investasi di bidang ini masih sangat besar di Jatim. Melihat peluang yang makin menggelembung, dirinya kini juga tengah bersiap-siap membuka lahan baru seluas 8000 meter persegi untuk pembudidayaan krisan plus apel. Di samping itu, seiring meningkatnya permintaan krisan di pasaran, terus bermunculan petani-petani bunga, dan perusahaan-perusahaan perdagangan bunga di Jatim, terutama di Surabaya. Beberapa agen bunga yang terhitung besar di Surabaya yang bisa disebut, diantaranya Wahana Kharisma Flora, Omni Flora, Freesia Flowership, Bibit Baru, dan sebagainya.
Ternyata, sepengetahuan Hantoko, agen-agen besar itu juga menyuplai kebutuhan bunga krisan ke kota-kota besar lain, selain Malang dan Surabaya, seperti ke Bali atau kota-kota besar di luar Jawa. “Bahkan mungkin ekspor ke luar negeri,” tukasnya. Ini mungkin, lanjutnya, karena Kota Surabaya sebagai kota transit. “Kalau krisan dari sini masuk Surabaya, bukan berarti hanya untuk pasar Surabaya. Tapi dari Surabaya bisa dilarikan ke mana saja karena transportasinya memungkinkan,” imbuhnya. –hm
Kawasan Tutur Nongkojajar yang berketinggian lebih dari 1.000 meter di atas permukaan laut (dpl) itu memang cocok untuk budidaya bunga krisan (ketinggian yang cocok untuk krisan: 700-1200 dpl, red). Di beberapa lokasi tampak sejumlah rumah plastik (green house) yang digunakan menanam aneka jenis bunga krisan, karena bunga yang berasal dari negeri Belanda ini memang membutuhkan naungan agar bisa hidup subur. Perlakuan bunga krisan agaknya cukup istimewa, di mana pada usia tanaman hingga 40 hari membutuhkan lampu dan ketersediaan sarana produksi yang tepat mencakup pupuk organik dan anorganik, zat pengatur tumbuh, kapur pertanian dan pestisida.
Hantoko, 45 tahun, salah seorang petani bunga krisan asal Desa Wonosari, yang kebun krisannya berada di Desa Belarang, Kec. Tutur Nongkojajar, mengatakan kebutuhan bibit bunga krisan selama ini dipasok oleh PT Saung Nirwan dari Bogor, yang merupakan pemasok tunggal kepada petani di kawasan tersebut. Perusahaan itu dikabarkan melakukan perbanyakan bibit dengan teknologi kultur jaringan dan mendatangkan induk dari Belanda.
Sejak mulai menjajal pembudidayaan krisan, Hantoko pernah mencoba menanam dari bibit yang tidak dikembangkan di daerah Jawa barat itu, namun dari daerah lain seperti dari Jawa Tengah atau Jatim sendiri. Alhasil, diakui, daya tahan tanaman dinilai kurang kuat, dan bunga yang tumbuh juga tidak begitu bagus. Karena itu, ia kembali mengambil bibit dari Bogor.
Biasanya, kata pria yang pernah aktif di Pordasi (Persatuan Olahraga Berkuda Seluruh Indonesia) Jatim itu, bibit-bibit krisan dikirim dua kali seminggu. Katanya, itu tidak terlepas dari pola tanam yang dikembangkannya selama ini. Artinya, dengan pola tanam yang diatur waktunya sedemikian rupa, memungkinkan tanaman itu bisa dipanen setiap hari. Sehingga, “Saya bisa memasok kebutuhan pasar kapan pun permintaan itu datang, dalam jumlah besar sekalipun,” jelasnya.
Harga bibit bunga krisan 150 ribu batang berumur 2 minggu, ungkapnya, mencapai Rp 37.5 juta. Itu belum termasuk dana pembuatan rumah plastik terdiri dari naungan plastik dan kerangka bambu. “Secara keseluruhan, dana yang diperlukan untuk usaha penanaman bunga krisan berupa pembuatan green house berkapasitas 150 ribu bibit mencapai Rp 100 juta,” tuturnya seraya menerangkan bahwa petani di Tutur biasa membangun rumah plastik berkapasitas 150 ribu bibit.
Dia tidak merinci berapa hasil bersih dari pembudidayaan bunga krisan sebanyak itu. Yang jelas, tanaman bunga krisan dapat dipetik atau dipanen setelah umur 3 bulan, di mana setiap bibit bisa menghasilkan lebih dari satu tangkai. Di awal pertumbuhannya, bunga krisan perlu dibantu penerangan lampu listrik hingga berumur 40 hari atau ketinggian 40 sentimeter.
Namun, penanaman bunga krisan bukannya tidak ada kendala, karena terdapat hama dan penyakit yang bisa menyerang tanaman tersebut, seperti ulat tanah yang memakan ujung batang tanaman muda. Pengendalian hama tersebut dengan menyemprotkan insektisida Decis 2,5 EC, Curacron 500 EC ataupun mengumpulkan ulat-ulat yang ada untuk dimusnahkan serta menjaga kebersihan kebun.
Hama penting lainnya yang dapat dikendalikan secara kimiawi dengan menyemprotkan insektisida adalah thrips yang mengakibatkan gejala keriting dan berkerutnya daun, ulat putih yang mengisap cairan sel daun, tungau merah menimbulkan kematian pucuk tanaman, pengorok daun mengakibatkan daun menggulung, dan ulat grayak yang mengakibatkan daun gundul.
Kaya Warna dan Tahan Lama
Keistimewaan bunga krisan sehingga banyak disukai adalah karena jenis atau varietasnya banyak, warna-warni, dan berdaya tahan lebih lama dari bunga lainnya. Jumlah varietas bunga potong ini mencapai 50 lebih, bahkan konon jauh lebih banyak lagi. Hebatnya, setiap jenis warnanya amat beragam. Di kawasan Kecamatan Tutur Nongkojajar saja, bunga yang ditengarai mudah diperbanyak secara vegetatif terutama setek atau kultur jaringan itu, diklaim warnanya terdiri dari 48 lebih.
Namun, diakui Hantoko, petani bunga di kawasan ini tidak mengembangkan jenis sebanyak itu. Tiap petani bunga, paling tidak, hanya menanam antara 10-15 jenis. “Petani bunga di sini tidak akan menanam jenis yang tidak laku di pasaran. Selama bertahun-tahun menekuni budidaya krisan, kita tahu mana bunga yang disukai pasar dan mana yang tidak. Kita tidak main spekulasi,” tandas pria bergaya koboi ini.
Hantoko sendiri menanami kebun krisannya sekitar 11 jenis saja. Kesebelas krisan itu diantaranya; Langen Vallen Van, Fiji, Fiji White, Fiji Yellow Improved, Puma Sunny, Puma, Reagen Carera, Stroika, TownTalk, 2001-04, dan 2001-01.
Menurutnya, meski jenisnya banyak, sebenarnya krisan bisa dibagi dalam dua golongan, yaitu standart dan sprai. Bunga standart dapat dicirikan, satu tangkai hanya tumbuh satu kelopak bunga dan ukurannya agak besar. Sedangkan bunga sprai, biasanya satu tangkai bisa tumbuh banyak bunga dengan ukuran lebih kecil.
Warna masing-masing sama banyaknya. Ada kuning, putih, ungu, hijau, kuning-hijau, merah-putih, dan puluhan warna lainnya. Dikatakan, sejauh ini warna yang banyak diminati adalah putih, kuning, dan hijau. Warna-warna lain juga disukai, namun menurutnya, persentasenya tidak banyak.
Istimewanya lagi, krisan memiliki daya tahan lebih, hingga dua minggu setelah dipotong. Bahkan, katanya, bila bunga krisan diletakkan di vas bunga, akan mampu bertahan lebih lama lagi, asal rajin memangkas tangkainya setiap hari atau dua hari sekali sepanjang setengah sentimeter dari pangkal tangkai. Kemampuan daya tahan lebih lama ini juga yang, katanya, membuat krisan banyak diburu pembeli.
Harga Stabil
Warna-warni krisan yang elok memang cocok untuk hiasan berbagai acara. Hantoko menyebutkan, kota-kota besar di Jatim yang tergolong tinggi daya serapnya adalah Surabaya dan Malang. Permintaan bunga krisan mencapai puncak bertepatan dengan berlangsungnya hajatan perkawinan, yang biasanya banyak dilakukan di bulan Besar dalam kalender Jawa. Kalau kemudian musim kawin di kota-kota besar seperti Surabaya diadakan di ulan mana saja, tentu memberi keuntungan lebih pada petani bunga.
Selain itu, krisan juga kerap dibutuhkan untuk acara-acara lain, meski diakui volumenya tidak cukup besar, seperti hiasan untuk ruang seminar, peluncuran produk, pembukaan gedung maupun lainnya. Apalagi, sejauh pengamatan Handoko, kesukaan orang terhadap bunga plastik mulai bergeser, dan lebih memilih bunga segar.
“Harga jual bunga krisan cukup stabil, yaitu Rp 1.000 per tangkai,” tukasnya. Biasanya, krisan dijual dalam kemasan yang dibungkus kertas putih. Setiap bungkus berisi 10 tangkai. Harga itu untuk krisan sprai. Sementara krisan standart, harganya selisih antara Rp 100-Rp 200 lebih mahal dari krisan sprai karena, menurut Hantoko, bunganya lebih besar.
Dulu, di awal membuka pembudidayaan krisan, Hantoko terpaksa membuka jalur pemasaran sendiri menggunakan mobil boksnya, ke Malang hingga Surabaya. Penawaran langsung itu, katanya, dilakukan setiap dua atau tiga hari sekali. Bahkan, ketika permintaan sedang ramai, seperti pada musim hajatan perkawinan, hampir tiap hari berkeliling ke kota-kota.
Namun, setelah sekian tahun berjalan, jalus bisnisnya dipermudah dengan hanya lewat telepon. Kini, katanya, tidak perlu lagi mengirim langsung ke pasaran karena banyak perusahaan agen bunga yang datang sendiri. Biasanya, mereka datang tiap dua hari sekali, silih berganti. Katanya, permintaan dari Malang lebih banyak perorangan untuk kebutuhan hiasan, sementara permintaan dari Surabaya kebanyakan adalah agen-agen besar, yang menyuplai pasar-pasar bunga, seperti pasar bunga Kayun Surabaya.
Diakui, dengan lahan sekitar 5000 meter persegi yang dimilikinya sekarang, dirinya tidak pernah merasa kekurangan memenuhi permintaan yang datang. Menggunakan program tanam, ia dengan leluasa bisa mengatur masa panen. Ketika masa sepi, seperti pada bulan Syuro dan puasa, tidak seluruh lahannya ditanami, begitu pula sebaliknya.
Memelihara lahan seluas itu, ia dibantu sekitar 10 orang karyawan. Dan rata-rata setiap hari menjual 300-400 bungkus. Kalau harga per tangkainya Rp 1.000 di tingkat petani bunga, artinya setiap hari ia sanggup meraup omset senilai Rp 3-Rp 4 juta. Karena itulah ia digolongkan sebagai petani besar diantara petani lainnya di kawasan itu.
Para pedagang di toko-toko bunga di Pasar Kayun Surabaya, mengakui permintaan bunga potong krisan semakin meningkat. E. Soenarko, pemilik Toko Bunga Naniek di Pasar Bunga Kayun Surabaya, mengungkapkan permintaan bunga krisan sejak beberapa tahun terakhir menduduki peringkat kedua sesudah mawar, dan kebutuhan terbesar diakui kebanyakan untuk keperluan hajatan perkawinan. Dia memperkirakan, selain krisan indah dipandang karena memiliki banyak jenis dan warna, juga karena krisan mampu bertahan tidak layu dalam masa yang lama itulah yang menjadi penyebab semakin diminatinya bunga tersebut.
"Bunga krisan kini bahkan menjadi bunga utama untuk dekorasi penganten. Volumenya paling banyak dibandingkan jenis bunga lainnya," akunya. Warna krisan paling banyak diminati, menurutnya, memang krisan putih dan kuning, kendati warna-warna lain kerap diselipkan untuk menambah pesona dekorasi.
Soenarko menambahkan, sejauh ini volume kebutuhan bunga krisan banyak dipasok dari perusahaan perdagangan bunga potong yang mendatangkannya dari Jawa Barat seharga Rp 15 ribu per bungkus berisi 10 tangkai," ujarnya. Ada juga pasokan dari petani lokal Jatim yang memasok harga Rp 12.500 per bungkus berisi 10 tangkai di tingkat pasar bunga Kayun Surabaya.
Hal senada dikatakan Andre, penjaga toko bunga Ina FM di Pasar Bunga Kayun Surabaya. Diakui, selama ini pihaknya banyak memenuhi pesanan pembuatan papan ucapan selamat dari perusahaan-perusahaan. Seperti diketahui, papan-papan karangan bunga seperti itu akan dipajang berhari-hari. Sehingga membutuhkan bunga yang mampu bertahan lama, dan krisanlah yang mampu mempercantik penampilan dengan warna-warni bunganya, terutama juga karena krisan tidak cepat layu seperti bunga lainnya.
Meski diakui kebutuhan akan krisan makin meningkat, tapi pihaknya tidak menjual bunga eceran, termasuk krisan. Sebab, lanjutnya, kebutuhan bunga dirasa cukup banyak untuk pendukung papan ucapan selamat yang dijual sekitar Rp 200 ribu itu. Setidaknya, setiap minggu, lebih kurang 4-5 papan dibuatnya.
Biasanya, sambungnya, bunga krisan dikirim oleh agen setiap tiga hari sekali. Krisan itu kabarnya didatangkan dari Kota Batu, Jatim. Setiap dikirim, ia mengambil antara 10-15 bungkus dengan harga Rp 15 ribuan per bungkus berisi 10 tangkai. Kebutuhan menghias papan dengan bunga krisan, katanya, antara 2-3 bungkus tiap papan ucapan selamat.
Seperti diketahui, untuk memenuhi kebutuhan di pasar bunga Kayun Surabaya saja, masih harus mendatangkan pasokan dari daerah lain karena, seperti diakui pedagang bunga, terbatasnya pasokan dari Jatim. Kebutuhan akan krisan justru banyak didatangkan dari Jawa Tengah bahkan Jawa Barat. Padahal, di Jatim telah banyak petani bunga yang membudidayakan bunga krisan. Seperti di Pasuruan (Tutur Nongkojajar), Malang (Batu), Mojokerto (Pacet), dan Jombang (Wonosalam).
Di Kecamatan Tutur Nongkojajar Pasuruan saja, tidak kurang terdapat 10 petani bunga. Kabarnya, ini merupakan jumlah terbesar di Jatim. Dalam perhitungan kasar, ungkap Hantoko, dari petani bunga di Pasuruan setidaknya sekitar 200 ribu tangkai tersebar di pasaran Jatim. “Jumlah itu bukan angka yang besar, karena kalaupun dikumpulkan dari seluruh kebun krisan di seluruh Jatim, hanya memenuhi kebutuhan pasar sekitar 40 persen. Sisanya yang 60 persen dipasok dari luar daerah, seperti dari Jawa Tengah dan Jawa Barat,” paparnya, memperkirakan.
Dengan demikian, katanya, peluang investasi di bidang ini masih sangat besar di Jatim. Melihat peluang yang makin menggelembung, dirinya kini juga tengah bersiap-siap membuka lahan baru seluas 8000 meter persegi untuk pembudidayaan krisan plus apel. Di samping itu, seiring meningkatnya permintaan krisan di pasaran, terus bermunculan petani-petani bunga, dan perusahaan-perusahaan perdagangan bunga di Jatim, terutama di Surabaya. Beberapa agen bunga yang terhitung besar di Surabaya yang bisa disebut, diantaranya Wahana Kharisma Flora, Omni Flora, Freesia Flowership, Bibit Baru, dan sebagainya.
Ternyata, sepengetahuan Hantoko, agen-agen besar itu juga menyuplai kebutuhan bunga krisan ke kota-kota besar lain, selain Malang dan Surabaya, seperti ke Bali atau kota-kota besar di luar Jawa. “Bahkan mungkin ekspor ke luar negeri,” tukasnya. Ini mungkin, lanjutnya, karena Kota Surabaya sebagai kota transit. “Kalau krisan dari sini masuk Surabaya, bukan berarti hanya untuk pasar Surabaya. Tapi dari Surabaya bisa dilarikan ke mana saja karena transportasinya memungkinkan,” imbuhnya. –hm
Sekilas “kultur jaringan” anggrek
Perkembangan kultur jaringan di Indonesia terasa sangat lambat, bahkan hampir dikatakan jalan di tempat jika dibandingkan dengan negara-negara lainnya, tidaklah heran jika impor bibit anggrek dalam bentuk ‘flask’ sempat membanjiri nursery-nursery anggrek di negara kita. Selain kesenjangan teknologi di lini akademisi, lembaga penelitian, publik dan pecinta anggrek, salah satu penyebab teknologi ini menjadi sangat lambat perkembangannya adalah karena adanya persepsi bahwa diperlukan investasi yang ’sangat mahal’ untuk membangun sebuah lab kultur jaringan, dan hanya cocok atau ‘feasible’ untuk perusahaan.
Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang luar biasa, salah satunya adalah anggrek, diperkirakan sekitar 5000 jenis anggrek spesies tersebar di hutan wilayah Indonesia. Potensi ini sangat berharga bagi pengembang dan pecinta anggrek di Indonesia, khususnya potensi genetis untuk menghasilkan anggrek silangan yang memiliki nilai komersial tinggi. Potensi tersebut akan menjadi tidak berarti manakala penebangan hutan dan eksploitasi besar-besaran terjadi hutan kita, belum lagi pencurian terang-terangan ataupun “terselubung” dengan dalih kerjasama dan sumbangan penelitian baik oleh masyarakat kita maupun orang asing.
Sementara itu hanya sebagian kecil pihak yang mampu melakukan pengembangan dan pemanfaatan anggrek spesies, khususnya yang berkaitan dengan teknologi kultur jaringan. Tidak dipungkiri bahwa metode terbaik hingga saat ini dalam pelestarian dan perbanyakan anggrek adalah dengan kultur jaringan, karena melalui kuljar banyak hal yang bisa dilakukan dibandingkan dengan metode konvensional.
Secara prinsip, lab kultur jaringan dapat disederhanakan dengan melakukan modifikasi peralatan dan bahan yang digunakan, sehingga sangat dimungkinkan kultur jaringan seperti ‘home industri’. Hal ini dapat dilihat pada kelompok petani ‘pengkultur biji anggrek’ di Malang yang telah sedemikian banyak.
Beberapa gambaran dan potensi yang bisa dimunculkan dalam kultur jaringan diantaranya adalah :
Kultur meristem, dapat menghasilkan anggrek yang bebas virus,sehingga sangat tepat digunakan pada tanaman anggrek spesies langka yang telah terinfeksi oleh hama penyakit, termasuk virus.
Kultur anther, bisa menghasilkan anggrek dengan genetik haploid (1n), sehingga bentuknya lebih kecil jika dibandingkan dengan anggrek diploid (2n). Dengan demikian sangat dimungkinkan untuk menghasilkan tanaman anggrek mini, selain itu dengan kultur anther berpeluang memunculkan sifat resesif unggul yang pada kondisi normal tidak akan muncul karena tertutup oleh yang dominan
Dengan tekhnik poliploid dimungkinkan untuk mendapatkan tanaman anggrek ‘giant’ atau besar. Tekhnik ini salah satunya dengan memberikan induksi bahan kimia yang bersifat menghambat (cholchicine)
Kloning, tekhnik ini memungkinkan untuk dihasilkan anggrek dengan jumlah banyak dan seragam, khususnya untuk jenis anggrek bunga potong. Sebagian penganggrek telah mampu melakukan tekhnik ini.
Mutasi, secara alami mutasi sangat sulit terjadi. Beberapa literatur peluangnya 1 : 100 000 000. Dengan memberikan induksi tertentu melalui kultur jaringan hal tersebut lebih mudah untuk diatur. Tanaman yang mengalami mutasi permanen biasanya memiliki nilai ekonomis yang sangat tinggi
Bank plasma, dengan meminimalkan pertumbuhan secara ‘in-vitro’ kita bisa mengoleksi tanaman anggrek langka tanpa harus memiliki lahan yang luas dan perawatan intensif. Baik untuk spesies langka Indonesia maupun dari luar negeri untuk menjaga keaslian genetis yang sangat penting dalam proses pemuliaan anggrek.
Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang luar biasa, salah satunya adalah anggrek, diperkirakan sekitar 5000 jenis anggrek spesies tersebar di hutan wilayah Indonesia. Potensi ini sangat berharga bagi pengembang dan pecinta anggrek di Indonesia, khususnya potensi genetis untuk menghasilkan anggrek silangan yang memiliki nilai komersial tinggi. Potensi tersebut akan menjadi tidak berarti manakala penebangan hutan dan eksploitasi besar-besaran terjadi hutan kita, belum lagi pencurian terang-terangan ataupun “terselubung” dengan dalih kerjasama dan sumbangan penelitian baik oleh masyarakat kita maupun orang asing.
Sementara itu hanya sebagian kecil pihak yang mampu melakukan pengembangan dan pemanfaatan anggrek spesies, khususnya yang berkaitan dengan teknologi kultur jaringan. Tidak dipungkiri bahwa metode terbaik hingga saat ini dalam pelestarian dan perbanyakan anggrek adalah dengan kultur jaringan, karena melalui kuljar banyak hal yang bisa dilakukan dibandingkan dengan metode konvensional.
Secara prinsip, lab kultur jaringan dapat disederhanakan dengan melakukan modifikasi peralatan dan bahan yang digunakan, sehingga sangat dimungkinkan kultur jaringan seperti ‘home industri’. Hal ini dapat dilihat pada kelompok petani ‘pengkultur biji anggrek’ di Malang yang telah sedemikian banyak.
Beberapa gambaran dan potensi yang bisa dimunculkan dalam kultur jaringan diantaranya adalah :
Kultur meristem, dapat menghasilkan anggrek yang bebas virus,sehingga sangat tepat digunakan pada tanaman anggrek spesies langka yang telah terinfeksi oleh hama penyakit, termasuk virus.
Kultur anther, bisa menghasilkan anggrek dengan genetik haploid (1n), sehingga bentuknya lebih kecil jika dibandingkan dengan anggrek diploid (2n). Dengan demikian sangat dimungkinkan untuk menghasilkan tanaman anggrek mini, selain itu dengan kultur anther berpeluang memunculkan sifat resesif unggul yang pada kondisi normal tidak akan muncul karena tertutup oleh yang dominan
Dengan tekhnik poliploid dimungkinkan untuk mendapatkan tanaman anggrek ‘giant’ atau besar. Tekhnik ini salah satunya dengan memberikan induksi bahan kimia yang bersifat menghambat (cholchicine)
Kloning, tekhnik ini memungkinkan untuk dihasilkan anggrek dengan jumlah banyak dan seragam, khususnya untuk jenis anggrek bunga potong. Sebagian penganggrek telah mampu melakukan tekhnik ini.
Mutasi, secara alami mutasi sangat sulit terjadi. Beberapa literatur peluangnya 1 : 100 000 000. Dengan memberikan induksi tertentu melalui kultur jaringan hal tersebut lebih mudah untuk diatur. Tanaman yang mengalami mutasi permanen biasanya memiliki nilai ekonomis yang sangat tinggi
Bank plasma, dengan meminimalkan pertumbuhan secara ‘in-vitro’ kita bisa mengoleksi tanaman anggrek langka tanpa harus memiliki lahan yang luas dan perawatan intensif. Baik untuk spesies langka Indonesia maupun dari luar negeri untuk menjaga keaslian genetis yang sangat penting dalam proses pemuliaan anggrek.
VARIASI SOMAKLONAL
Keragaman somaklonal adalah keragaman genetik yang terjadi pada sel-sel somatik karena adanya keragaman kromosom. Oleh karena itu keragaman genetik bisa terjadi pada tingkat sel, protoplasma, kalus, jaringan dan morfologi tanaman yang telah mengalami regenerasi. Keragaman disebabkan karena adanya perubahan jumlah dan struktur kromosom. Stabilitas genetik dalam perbanyakan tanaman melalui kultur jaringan perlu dipertahankan, oleh karena itu perubahan genetik sangat dihindarkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perubahan genetik yang sering terjadi dalam kultur sel atau jaringan disebabkan antara lain adanya poliploidi, aneuploidi, kerusakan kromosom, delesi, translokasi, amplifikasi gen dan mutasi. Keragaman genetik dalam kultur jaringan diekspresikan dalam bentuk variasi sifat-sifat pada tanaman yang beregenerasi yang kemudian dapat diturunkan baik melalui perbanyakan secara seksual maupun vegetatif.
Keragaman genetik terjadi pada sel-sel yang dikulturkan, tanaman yang berasal dari sel-sel tersebut disebut variasi somaklonal. Terminologi lain adalah variasi atau keragaman gametoklonal yang mengacu pada keragaman yang terjadi pada polen tanaman, tetapi istilah ini jarang dipakai. Secara umum, istilah keragaman somaklonal digunakan untuk keragaman genetik yang terjadi pada semua jenis sel atau tanaman yang berasal dari sel-sel yang dikulturkan secara in vitro. Keragaman tanaman hasil kultur jaringan atau sel menunjukkan sifat kualitatif maupun kuantitatif yang dapat diturunkan.
Keragaman somaklonal yang terjadi pada biakan in vitro bisa diakibatkan karena sel somatik membelah secara tidak sempurna baik karena suhu yang tinggi, genotipe, atau perlakuan zat kimia yan menyebabkan replikasi kromosom tidak berjalan sempurna. Pada kultur jaringan sering terjadi bila jaringan yang dikulturkan mengalami pembelahan sel yang sangat intensif dan membentuk kalus. Keragaman sel-sel somatik tersebut dapat dimanfaatkan untuk diseleksi sifat-sifat unggulnya.
Variasi pada tingkat kromosom akan menyebabkan perubahan fenotipe tanaman baik yang bersifat permanen maupun tidak permanen. Upaya meningkatkan variasi sel somatik melalui kultur sel atau kalus banyak dilakukan untuk mendapatkan galur-galur mutan secara cepat. Galur-galur mutan tersebut antara lain ditujukan untuk: (i) mendapatkan tanaman yang mampu tumbuh pada cekaman lingkungan seperti kadar Al tinggi, kadar garam yang tinggi, kekeringan dll.(ii) mendapatkan tanaman yang resisten terhadap hama, penyakit dan herbisida, (iii) memproduksi senyawa kimia tertentu (asam amino, metabolit sekunder) dalam jumlah yang tinggi.
Berbagai cara yang dapat ditempuh untuk meningkatkan keragaman pada sel somatik antara lain dengan induksi mutasi menggunakan radiasi atau bahan kimia mutagen. Radiasi dapat menggunakan radiasi sinar UV, sinar X-ray, atau sinar gamma. Radiasi dari sinar radioaktif dapat menyebabkan mjtasi pada tingkat kromosom ataupun DNA. Pengaruh radiasi terhadap mutasi tergantung pada tipe radiasi, pengaruh lingkungan sel sebelum dan sesudah radiasi, dan fase pertumbuhan tanaman yang diradiasi. Radiasi jaringan menghasilkan mutasi hanya pada bagian tertentu dari jaringan yang dapat mengakibatkan terbentuknya khimera. Penggunaan mutagen kimia untuk mendapatkan keragaman genetik pada sel somatik akan menyebabkan mutasi pada tingkat DNA. Mutasi ini dapat mengubah struktur asam amino tetentu, menyebabkan penggandaan kromosom atau menginaktifkan DNA. Mutagen kimia yang banyak digunakanuntuk induksi mutasi adalah: Ethyl metane sulfonate (EMS), methyl metane sulfonaate (MMS), Chloro choline chlorida, 5-bromourasil, dan 5-bromodeoxyuridine.
Isolasi ragam-ragam somaklonal
Mutan-mutan dari beberapa sifat dapat lebih mudah diisolasi melalui kultur sel dibandingkan dari suatu populasi tanaman karena sejumlah sel dapat dengan mudah dan efektif diseleksi sifat-sifat mutannya. Mutan-mutan yang dapat diseleksi secara efektif seperti ketahanan terhadap penyakit, perbaikan kualitas nutrisi, adaptasi tanaman terhadap cekaman kondisi lingkungan seperti salinitas tanah, suhu rendah, logam beracun (contoh Al), ketahanan terhadap herbisida dan meningkatkan biosintesa produk tanaman untuk tujuan obat atau industri.
Pendekatan untuk mengisolasi ragam somaklonal dapat dikelompokkan dalam dua katagori: (i) screening, dan (ii) seleksi sel.
(i) Screening
Melibatkan pengamatan sejumlah sel-sel atau tanaman yang telah diregenerasi untuk mendeteksi ragam tiap individu. Pendekatan dengan teknik ini hanya cocok untuk isolasi sifat-sifat hasil dari mutan. Secara umum, keturunan R1 (keturunan tanaman R0) dinilai dari identifikasi ragam tanaman, dan keturunan galur-galur R2-nya dievaluasi untuk konfirmasi. Pendekatan dengan cara screening akan menguntungkan dan secara luas dilakukan untuk isolasi klon sel-sel yang menghasilkan senyawa biokimia tertentu dengan kuantitas tertinggi.
(ii) Seleksi sel
Pendekatan dengan seleksi sel diarahkan berdasarkan variasi dari sel-sel yang bertahan hidup pada tekanan atau cekaman kondisi tertentu. Beberapa contoh seleksi sel antara lain seleksi sel yang resisten terhadap berbagai toksin, herbisida, konsentrasi gaam yang tinggi dll. Apabila mutan-mutan sel yang dapat lolos dari tekanan seleksi maka disebut seleksi positif. Pada seleksi negatif, sel-sel jenis liar akan membelah secara normal dan akan mati bila diberi bahan atau agen seleksi, seperti 5 BudR atau arsenat.
Beberapa karakter varian
Variasi somaklonal melalui seleksi sel sering tidak stabil. Frekuensi varian yang stabil berkisar antara 8-62% tergantung pada spesies dan agen seleksi. Banyak klon-lon yang gagal menunjukkan resistensinya terhadap agen penyeleksi selama tahap screening atau seleksi. Klon-klon tersebut berarti rentan dan tidak tergolong klon yang resisten. Beberapa klon kehilangan resistensinya terhadap agen seleksi setelah periode pertumbuhan tanpa tekanan agen seleksi. Klon-klon ini disebut varian yang tidak stabil dan diduga karea perubahan ekspresi gen. Beberapa varian fenotipe agak stabil selama fase kultur sel tetapi hilang apabila tanaman diregenerasikan dari kultur atau hilang setelah keturunan berikutnya. Perubahan tersebut dikenal dengan istilah perubahan epigenetik.
Keragaman genetik terjadi pada sel-sel yang dikulturkan, tanaman yang berasal dari sel-sel tersebut disebut variasi somaklonal. Terminologi lain adalah variasi atau keragaman gametoklonal yang mengacu pada keragaman yang terjadi pada polen tanaman, tetapi istilah ini jarang dipakai. Secara umum, istilah keragaman somaklonal digunakan untuk keragaman genetik yang terjadi pada semua jenis sel atau tanaman yang berasal dari sel-sel yang dikulturkan secara in vitro. Keragaman tanaman hasil kultur jaringan atau sel menunjukkan sifat kualitatif maupun kuantitatif yang dapat diturunkan.
Keragaman somaklonal yang terjadi pada biakan in vitro bisa diakibatkan karena sel somatik membelah secara tidak sempurna baik karena suhu yang tinggi, genotipe, atau perlakuan zat kimia yan menyebabkan replikasi kromosom tidak berjalan sempurna. Pada kultur jaringan sering terjadi bila jaringan yang dikulturkan mengalami pembelahan sel yang sangat intensif dan membentuk kalus. Keragaman sel-sel somatik tersebut dapat dimanfaatkan untuk diseleksi sifat-sifat unggulnya.
Variasi pada tingkat kromosom akan menyebabkan perubahan fenotipe tanaman baik yang bersifat permanen maupun tidak permanen. Upaya meningkatkan variasi sel somatik melalui kultur sel atau kalus banyak dilakukan untuk mendapatkan galur-galur mutan secara cepat. Galur-galur mutan tersebut antara lain ditujukan untuk: (i) mendapatkan tanaman yang mampu tumbuh pada cekaman lingkungan seperti kadar Al tinggi, kadar garam yang tinggi, kekeringan dll.(ii) mendapatkan tanaman yang resisten terhadap hama, penyakit dan herbisida, (iii) memproduksi senyawa kimia tertentu (asam amino, metabolit sekunder) dalam jumlah yang tinggi.
Berbagai cara yang dapat ditempuh untuk meningkatkan keragaman pada sel somatik antara lain dengan induksi mutasi menggunakan radiasi atau bahan kimia mutagen. Radiasi dapat menggunakan radiasi sinar UV, sinar X-ray, atau sinar gamma. Radiasi dari sinar radioaktif dapat menyebabkan mjtasi pada tingkat kromosom ataupun DNA. Pengaruh radiasi terhadap mutasi tergantung pada tipe radiasi, pengaruh lingkungan sel sebelum dan sesudah radiasi, dan fase pertumbuhan tanaman yang diradiasi. Radiasi jaringan menghasilkan mutasi hanya pada bagian tertentu dari jaringan yang dapat mengakibatkan terbentuknya khimera. Penggunaan mutagen kimia untuk mendapatkan keragaman genetik pada sel somatik akan menyebabkan mutasi pada tingkat DNA. Mutasi ini dapat mengubah struktur asam amino tetentu, menyebabkan penggandaan kromosom atau menginaktifkan DNA. Mutagen kimia yang banyak digunakanuntuk induksi mutasi adalah: Ethyl metane sulfonate (EMS), methyl metane sulfonaate (MMS), Chloro choline chlorida, 5-bromourasil, dan 5-bromodeoxyuridine.
Isolasi ragam-ragam somaklonal
Mutan-mutan dari beberapa sifat dapat lebih mudah diisolasi melalui kultur sel dibandingkan dari suatu populasi tanaman karena sejumlah sel dapat dengan mudah dan efektif diseleksi sifat-sifat mutannya. Mutan-mutan yang dapat diseleksi secara efektif seperti ketahanan terhadap penyakit, perbaikan kualitas nutrisi, adaptasi tanaman terhadap cekaman kondisi lingkungan seperti salinitas tanah, suhu rendah, logam beracun (contoh Al), ketahanan terhadap herbisida dan meningkatkan biosintesa produk tanaman untuk tujuan obat atau industri.
Pendekatan untuk mengisolasi ragam somaklonal dapat dikelompokkan dalam dua katagori: (i) screening, dan (ii) seleksi sel.
(i) Screening
Melibatkan pengamatan sejumlah sel-sel atau tanaman yang telah diregenerasi untuk mendeteksi ragam tiap individu. Pendekatan dengan teknik ini hanya cocok untuk isolasi sifat-sifat hasil dari mutan. Secara umum, keturunan R1 (keturunan tanaman R0) dinilai dari identifikasi ragam tanaman, dan keturunan galur-galur R2-nya dievaluasi untuk konfirmasi. Pendekatan dengan cara screening akan menguntungkan dan secara luas dilakukan untuk isolasi klon sel-sel yang menghasilkan senyawa biokimia tertentu dengan kuantitas tertinggi.
(ii) Seleksi sel
Pendekatan dengan seleksi sel diarahkan berdasarkan variasi dari sel-sel yang bertahan hidup pada tekanan atau cekaman kondisi tertentu. Beberapa contoh seleksi sel antara lain seleksi sel yang resisten terhadap berbagai toksin, herbisida, konsentrasi gaam yang tinggi dll. Apabila mutan-mutan sel yang dapat lolos dari tekanan seleksi maka disebut seleksi positif. Pada seleksi negatif, sel-sel jenis liar akan membelah secara normal dan akan mati bila diberi bahan atau agen seleksi, seperti 5 BudR atau arsenat.
Beberapa karakter varian
Variasi somaklonal melalui seleksi sel sering tidak stabil. Frekuensi varian yang stabil berkisar antara 8-62% tergantung pada spesies dan agen seleksi. Banyak klon-lon yang gagal menunjukkan resistensinya terhadap agen penyeleksi selama tahap screening atau seleksi. Klon-klon tersebut berarti rentan dan tidak tergolong klon yang resisten. Beberapa klon kehilangan resistensinya terhadap agen seleksi setelah periode pertumbuhan tanpa tekanan agen seleksi. Klon-klon ini disebut varian yang tidak stabil dan diduga karea perubahan ekspresi gen. Beberapa varian fenotipe agak stabil selama fase kultur sel tetapi hilang apabila tanaman diregenerasikan dari kultur atau hilang setelah keturunan berikutnya. Perubahan tersebut dikenal dengan istilah perubahan epigenetik.
KULTUR MERISTEM
Meristem merupakan kumpulan sel-sel yang aktif membelah pada tempat tertentu pada tanaman, dimana sel-sel tersebut akan membentuk sistem jaringan secara permanen seperti akar, tunas, daun, bunga dan lain-lain. Sel-sel jaringan meristem mempunyai kemampuan embrionik yang dapat membelah tanpa batas untuk membentuk jaringan dewasa untuk kemudian menjadi organ-organ tanaman.
Bentuk dan ukuran titik tumbuh meristem berbeda antara tanaman yang satu dengan lainnya tergantung kelompok tanaman secara taksonomik. Meristem pada tunas tanaman yang tergolong dikotil mempunyai lapisan sel-sel yang membentuk kubah yang sel-selnya aktif membelah berukuran diameter sekitar 0.1-0.2 mm dan panjang 0.2-0.3 mm. Meristem tidak mempunyai vaskuler yang terhubung dengan jaringan phloem dan xylem pada batang. Dibawah sel meristem terdapat sel-sel yang membelah dan memanjang yang berkembang menjadi primordia daun.
Kultur meristem merupakan salah satu metoda dalam teknik kultur jaringan dengan menggunakan eksplan berupa jaringan meristematik baik meristem pucuk terminal atau meristem dari tunas aksilar. Tujuan utama aplikasi kultur meristem adalah mendapatkan dan memperbanyak tanaman yang bebas virus (eliminasi virus dari bahan tanaman). Kultur meristem sebagai metoda untuk perbanyakan tanaman yang bebas virus sudah secara luas diaplikasikan terutama pada tanaman hortikultura. Sel-sel meristem pada umumnya stabil, karena mitosis pada sel-sel meristem terjadi bersama dengan pembelahan sel yang berkesinambungan, sehingga ekstra duplikasi DNA dapat dihindarkan. Hal ini menyebabkan tanaman yang dihasilkan identik dengan tanaman donornya (Gunawan, 1988). Jaringan meristem merupakan jaringan vegetatif sehingga plantlet yang dihasilkannyapun merupakan suatu klon. Oleh karena itu kelompok tanaman yang dihasilkan dari kultur meristem sering disebut mericlone.
Morel dan Martin (1952) merupakan orang pertama yang berhasil menumbuhkan meristem tanaman dahlia yang terserang virus dan memperoleh tanaman yang bebas virus. Setelah itu penggunaan kultur meristem terhadap berbagai jenis tanaman banyak dikembangkan. Pada tahun 1960 Morel berhasil memperbanyak tanaman Cymbidium yang bebas virus. Dari hasil perbanyakan kultur meristem anggrek tersebut, Morel menemukan pembentukan kalus terlebih dahulu. Dan dari kalus tersebut kemudian membentuk struktur yang serupa dengan perkembangan awal dari perkecambahan biji anggrek sebelum menjadi tanaman. Struktur tersebut disebut dengan protocorm. Protocorm akan memperbanyak diri menjadi massa protocorm yang baru apabila ditumbuhkan pada media tumbuh yang sama dan akan tumbuh menjadi tanaman lengkap (plantlet) apabila dipindahkan ke media pendewasaan dan perakaran.
Berbeda dengan Morel yang telah berhasil mengklonkan tanaman anggrek melalui protocorm, Hussey dan Stacey (1960) memperbanyak tanaman kentang secara massal yang bebas virus melalui subkultur tunas aksiler secara berulang. Eksplan tunas kentang yang sudah bebas virus dijadikan eksplan awal ditumbuhkan pada media perbanyakan yang menghasilkan tunas dengan buku-buku yang mengandung tunas ketiak disetiap bukunya. Tiap bulan dapat dihasilkan rata-rata 3-5 buku. Setiap empat minggu buku-buku tersebut dipotong untuk dikulturkan ke media baru. Setelah empat minggu dipotong-potong lagi. Demikian seterusnya sehingga dalam satu tahun dapat dihasilkan jutaan tanaman.
Keberhasilan kultur meristem tergantung pada beberapa faktor, diantaranya media kultur, keadaan fisiologis eksplan dan lingkungan fisik tumbuh. Sering terjadi bahwa jaringan meristem yang ditanam tidak menunjukkan proses morfogenesis, hal ini disebabkan sel-sel dari eksplan tidak mengadakan pembelahan dan berdiferensiasi. Jaringan meristem merupakan jaringan yang sel-selnya aktif membelah, biasanya jaringan ini akan mempunyai daya hidup yang lebih besar dan dapat beregenerasi dengan baik apabila ditanam bersama dengan daun primordianya. Akan tetapi lebih disarankan apabila tujuannya untuk mendapatkan tanaman bebas virus sebaiknya meristem ditanam tanpa disertakan daun primordia.
Perbanyakan tanaman kentang melalui kultur meristem untuk eliminasi virus dapat dicontohkan seperti yang dilakukan di Balai Penelitian Tanaman Sayuran (Balitsa) Lembang yaitu sebagai berikut:
Sebagai sumber eksplan adalah tunas-tunas yang tumbuh dari umbi berukuran 3-5 cm. Titik tumbuh / jaringan meristem yang diambil berukuran 0.25-0.4 mm dengan menggunakan skalpel atau jarum. Pengambilan meristem dilakukan dibawah mikroskop binokuler (pembesaran 25-40 kali) dalam lingkungan steril (dalam laminar airflow). Meristem ditanam secara in vitro pada media dasar MS yang ditambah suplemen sukrosa 30 g/l, myo-inositol 100 mg/l, GA3 0.1-0.25 mg/l, agar 7 g/l, pH 5.6-5.7. Biakan kemudian diinkubasi di ruang kultur dengan suhu 20-22oC, dengan diberi penerangan 1000-2000 lux selama 16 jam per hari. Subkultur dilakukan setelah jaringan meristem tumbuh dan berkembang menjadi plantlet. Pada umumnya jaringan meristem akan tumbuh dan berkembang menjadi plantlet setelah 3-6 bulan stelah tanam. Plantlet kemudian diperbanyak dengan metoda penanaman stek satu buku pada media MS yang diperkaya air kelapa 100 ml/l, gula 30 g/l, GA3 0.15 mg/l, agar 7 g/l, pH 5.7. Biakan disimpan pada kondisi yang sama dengan kultur meristem. Stek mikro tersebut umumnya dapat diperbanyak kembali setelah berumur 3-5 minggu (Gambar F-6.3).
Bentuk dan ukuran titik tumbuh meristem berbeda antara tanaman yang satu dengan lainnya tergantung kelompok tanaman secara taksonomik. Meristem pada tunas tanaman yang tergolong dikotil mempunyai lapisan sel-sel yang membentuk kubah yang sel-selnya aktif membelah berukuran diameter sekitar 0.1-0.2 mm dan panjang 0.2-0.3 mm. Meristem tidak mempunyai vaskuler yang terhubung dengan jaringan phloem dan xylem pada batang. Dibawah sel meristem terdapat sel-sel yang membelah dan memanjang yang berkembang menjadi primordia daun.
Kultur meristem merupakan salah satu metoda dalam teknik kultur jaringan dengan menggunakan eksplan berupa jaringan meristematik baik meristem pucuk terminal atau meristem dari tunas aksilar. Tujuan utama aplikasi kultur meristem adalah mendapatkan dan memperbanyak tanaman yang bebas virus (eliminasi virus dari bahan tanaman). Kultur meristem sebagai metoda untuk perbanyakan tanaman yang bebas virus sudah secara luas diaplikasikan terutama pada tanaman hortikultura. Sel-sel meristem pada umumnya stabil, karena mitosis pada sel-sel meristem terjadi bersama dengan pembelahan sel yang berkesinambungan, sehingga ekstra duplikasi DNA dapat dihindarkan. Hal ini menyebabkan tanaman yang dihasilkan identik dengan tanaman donornya (Gunawan, 1988). Jaringan meristem merupakan jaringan vegetatif sehingga plantlet yang dihasilkannyapun merupakan suatu klon. Oleh karena itu kelompok tanaman yang dihasilkan dari kultur meristem sering disebut mericlone.
Morel dan Martin (1952) merupakan orang pertama yang berhasil menumbuhkan meristem tanaman dahlia yang terserang virus dan memperoleh tanaman yang bebas virus. Setelah itu penggunaan kultur meristem terhadap berbagai jenis tanaman banyak dikembangkan. Pada tahun 1960 Morel berhasil memperbanyak tanaman Cymbidium yang bebas virus. Dari hasil perbanyakan kultur meristem anggrek tersebut, Morel menemukan pembentukan kalus terlebih dahulu. Dan dari kalus tersebut kemudian membentuk struktur yang serupa dengan perkembangan awal dari perkecambahan biji anggrek sebelum menjadi tanaman. Struktur tersebut disebut dengan protocorm. Protocorm akan memperbanyak diri menjadi massa protocorm yang baru apabila ditumbuhkan pada media tumbuh yang sama dan akan tumbuh menjadi tanaman lengkap (plantlet) apabila dipindahkan ke media pendewasaan dan perakaran.
Berbeda dengan Morel yang telah berhasil mengklonkan tanaman anggrek melalui protocorm, Hussey dan Stacey (1960) memperbanyak tanaman kentang secara massal yang bebas virus melalui subkultur tunas aksiler secara berulang. Eksplan tunas kentang yang sudah bebas virus dijadikan eksplan awal ditumbuhkan pada media perbanyakan yang menghasilkan tunas dengan buku-buku yang mengandung tunas ketiak disetiap bukunya. Tiap bulan dapat dihasilkan rata-rata 3-5 buku. Setiap empat minggu buku-buku tersebut dipotong untuk dikulturkan ke media baru. Setelah empat minggu dipotong-potong lagi. Demikian seterusnya sehingga dalam satu tahun dapat dihasilkan jutaan tanaman.
Keberhasilan kultur meristem tergantung pada beberapa faktor, diantaranya media kultur, keadaan fisiologis eksplan dan lingkungan fisik tumbuh. Sering terjadi bahwa jaringan meristem yang ditanam tidak menunjukkan proses morfogenesis, hal ini disebabkan sel-sel dari eksplan tidak mengadakan pembelahan dan berdiferensiasi. Jaringan meristem merupakan jaringan yang sel-selnya aktif membelah, biasanya jaringan ini akan mempunyai daya hidup yang lebih besar dan dapat beregenerasi dengan baik apabila ditanam bersama dengan daun primordianya. Akan tetapi lebih disarankan apabila tujuannya untuk mendapatkan tanaman bebas virus sebaiknya meristem ditanam tanpa disertakan daun primordia.
Perbanyakan tanaman kentang melalui kultur meristem untuk eliminasi virus dapat dicontohkan seperti yang dilakukan di Balai Penelitian Tanaman Sayuran (Balitsa) Lembang yaitu sebagai berikut:
Sebagai sumber eksplan adalah tunas-tunas yang tumbuh dari umbi berukuran 3-5 cm. Titik tumbuh / jaringan meristem yang diambil berukuran 0.25-0.4 mm dengan menggunakan skalpel atau jarum. Pengambilan meristem dilakukan dibawah mikroskop binokuler (pembesaran 25-40 kali) dalam lingkungan steril (dalam laminar airflow). Meristem ditanam secara in vitro pada media dasar MS yang ditambah suplemen sukrosa 30 g/l, myo-inositol 100 mg/l, GA3 0.1-0.25 mg/l, agar 7 g/l, pH 5.6-5.7. Biakan kemudian diinkubasi di ruang kultur dengan suhu 20-22oC, dengan diberi penerangan 1000-2000 lux selama 16 jam per hari. Subkultur dilakukan setelah jaringan meristem tumbuh dan berkembang menjadi plantlet. Pada umumnya jaringan meristem akan tumbuh dan berkembang menjadi plantlet setelah 3-6 bulan stelah tanam. Plantlet kemudian diperbanyak dengan metoda penanaman stek satu buku pada media MS yang diperkaya air kelapa 100 ml/l, gula 30 g/l, GA3 0.15 mg/l, agar 7 g/l, pH 5.7. Biakan disimpan pada kondisi yang sama dengan kultur meristem. Stek mikro tersebut umumnya dapat diperbanyak kembali setelah berumur 3-5 minggu (Gambar F-6.3).
KULTUR KALUS DAN SEL
Induksi dan Kultur Kalus
Kalus adalah kumpulan sel-sel yang terbentuk dari sel-sel parenkhima yang membelah secara terus menerus dan tidak terorganisir. Di alam (in vivo) fenomena pembentukan kalus terjadi pada penyakit tumor tanaman yang disebabkan infeksi oleh mikroorganisme bakteri Agrobacterium tumefaciens pada bagian tanaman yang terluka akibat gigitan serangga atau nematoda. Kalus yang diinisiasi dan dipelihara dalam media secara in vitro dapat digunakan untuk tujuan mempelajari pertumbuhan dan perkembangan tanaman atau dieksploitasi untuk tujuan perbanyakan tanaman. Keberhasilan induksi kalus ditentukan oleh: (i) pemilihan bahan tanaman atau eksplan, dan (ii) media dan kondisi kultur yang cocok. Kalus dapat diinisiasi dari hampir semua bagian tanaman, tetapi organ dan jenis tanaman yang berbeda akan menunjukkan kecepatan pembelahan sel yang berbeda pula. Embrio zigotik muda dalam biji tanaman, hipkotil, kotiledon, daun dan batang muda adalah contoh-contoh eksplan yang sangat respon untuk pembentukan kalus.
Pembelahan sel dari jaringan eksplan yang membentuk kalus biasanya hanya terjadi dari bagian lapisan periphery saja. Menurut Yeoman (1970), hal ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain: (i) ketersediaan O2 yang lebih tinggi, (ii) keluarnya gas CO2, (iii) ketersediaan hara yang lebih banyak, (iv) penguapan yang lebih cepat dari penghambat yang bersifat folatik, dan (v) cahaya. Jaringan dari eksplan batang, akar atau daun terdiri dari berbagai macam sel sehingga akan menghasilkan kalus yang heterogenous. Bahkan jaringan yang tampak seragam secara histologi seperti pembuluh tembakau dan akar ercis menghasilkan kalus dengan sel dengan DNA yang berbeda karena tingkat ploidi yang berbeda (Yeoman, 1970; Torey, 1961 dalam Gunawan, 1988). Heterogenitas dari sel-sel yang membentuk kalus selain berasal dari materi asalnya juga dapat terjadi karena masa kultur yang panjang melalui subkultur yang berulang-ulang. Menurut Gunawan (1988), perubahan dapat terjadi karena: (i) aberasi kromosom, (ii) mutasi gen, (iii) endoreduplikasi yang menghasilkan poliploidi, (iv) transposisi urutan DNA, (v) amplifikasi gen atau (vi) hiangnya satu gen.
Agar kalus dapat dijaga pertumbuhannya dan dapat diperbanyak secara berkesinambungan, maka perlu dipindahkan secara teratur pada media baru dalam jangka waktu terentu (subkultur). Apabila kalus disubkultur pada media agar yang dilakukan secara regular, maka akan menunjukkan fase pertumbuhan kurva S (sigmoid). Phillips et al., (1995) membagi lima fase pertumbuhan kalus, yaitu:
• Fase lag, dimana sel-sel mulai membelah;
• Fase eksponensial, dimana laju pembelahan sel berada pada puncaknya;
• Fase linear, dimana pembelahan sel mengalami perlambatan tetapi laju ekspansi sel meningkat;
• Fase deselerasi, dimana laju pembelahan dan pemanjangan sel menurun, dan;
• Fase stationer, dimana jumlah dan ukuran sel tetap.
Menurut Thorpe (1982), kalus yang dipelihara dalam kultur sering mengalami perubahan sejalan dengan waktu, antara lain karena: (i) hilangnya hormon pertumbuhan yang diperlukan; (ii) hilangnya potensi morfogenetik, dan (iii) perubahan tekstur morfologis dari jaringan (jaringan yang ”friable”). Semua perubahan tersebut akan menurunkan daya regenerasi jaringan. Dalam beberapa kasus kehilangan daya morfogenetik dari kalus tersebut dapat dikembalikan dengan cara memindahkan kalus pada media yang mengandung sitokinin pada konsentrasi tinggi dalam periode kultur yang singkat atau melakukan subkultur yang berulang pada media untuk pembentukan tunas (Rice, et al., 1978).
2. Kultur Suspensi Sel
Suspensi sel adalah kumpulan atau agregat-agregat sel yang berasal hasil pemindahan potongan kalus kedalam botol kultur berisi medium cair yang disimpan di atas alat penggojok (“gyratory shaker”). Penggojokan dilakukan untuk tujuan penyediaan aerasi bagi sel-sel tersebut, pemecahan gumpalan sel menjadi agregat yang kecil atau sel tungal dan untuk distribusi sel yang merata dalam media kultur. Inisiasi kultur suspensi sel umumnya dilakukan dengan cara yang sederana yaitu dengan memindahkan kalus segar kedalam media cair dalam botol erlenmeyer dan dikocok dengan meletakannya diatas shaker dengan kecepatan antara 70-100 rpm (Gambar D-4.2).
Umumnya sel-sel dalam suspensi menunjukkan laju pembelahan sel yang lebih tinggi dibandingkan dengan sel-sel dalam kultur kalus. Oleh karena itu suspensi sel memberikan keuntungan apabila kita menginginkan pembelahan sel yang cepat dan generasi sel yang banyak atau apabila diperlukan aplikasi perlakuan yang seragam selama prosedur seleksi sel. Pertumbuhan suspensi sel dapat dimonitor berdasarkan satuan volume sel yang berkorelasi dengan pertumbuhan berat segar. Densitas sel dapat diperkirakan dan dipantau mengunakan alat hemacytometer.
Kultur suspensi sel merupakan metoda yang cocok untuk mempelajari metabolisme sel, pengaruh berbagai persenyawaan ada sel, serta diferensiasi sel. Aplikasi kultur suspensi sel banyak digunakan sebagai: (i) sumber sel untuk mendapatkan protoplasma; (ii) sumber sel yang akan diberi perlakuan induksi mutasi; (iii) bahan untuk mempelajari hubungan inang dan penyakit dalam fitopatologi; (iv) metoda produksi bahan metabolit sekunder; dan (v) sumber sel untuk media seleksi.
Sisitim pemeliharaan suspensi sel dapat dilakukan dengan cara kultur batch dan continous. Pada kultur suspensi sel batch, kultur dipelihara dalam media dengan volume tetap tetapi dengan konsentrasi hara yang berubah sesuai dengan tingkat pertumbuhan sel. Pada sistim ini biomasa sel akan bertambah sesuai kurva sigmoid dan setelah mencapai masa tertentu sel akan berhenti membelah karena kehabisan hara atau akumulasi senyawa metabolik yang bersifat toksik. Setelah mencapai fase ini biakan harus diperbaharui dengan cara mensubkultur sebagian sel pada media baru. Suspensi sel dengan sistim berkelanjutan (continuous system) merupakan kultur sel jangka panjang denan suplai hara yang konstan dalam wadah yang relatif lebih besar. Pada sistim ini media kultur dapat ditambahkan atau ganti dengan media baru sehingga sel-sel baru dapat terus dihasilkan. Kultur sel kontinyu terdapat dua tipe yaitu tipe tertutup (closed type) dan tipe terbuka (open type). Pada tipe tertutup, sel akan bertambah terus tanpa dipanen dan hanya media yang disirkulasi. Sedangkan pada tipe terbuka, penambahan media baru disertai dengan pemanenan sel.
Kalus adalah kumpulan sel-sel yang terbentuk dari sel-sel parenkhima yang membelah secara terus menerus dan tidak terorganisir. Di alam (in vivo) fenomena pembentukan kalus terjadi pada penyakit tumor tanaman yang disebabkan infeksi oleh mikroorganisme bakteri Agrobacterium tumefaciens pada bagian tanaman yang terluka akibat gigitan serangga atau nematoda. Kalus yang diinisiasi dan dipelihara dalam media secara in vitro dapat digunakan untuk tujuan mempelajari pertumbuhan dan perkembangan tanaman atau dieksploitasi untuk tujuan perbanyakan tanaman. Keberhasilan induksi kalus ditentukan oleh: (i) pemilihan bahan tanaman atau eksplan, dan (ii) media dan kondisi kultur yang cocok. Kalus dapat diinisiasi dari hampir semua bagian tanaman, tetapi organ dan jenis tanaman yang berbeda akan menunjukkan kecepatan pembelahan sel yang berbeda pula. Embrio zigotik muda dalam biji tanaman, hipkotil, kotiledon, daun dan batang muda adalah contoh-contoh eksplan yang sangat respon untuk pembentukan kalus.
Pembelahan sel dari jaringan eksplan yang membentuk kalus biasanya hanya terjadi dari bagian lapisan periphery saja. Menurut Yeoman (1970), hal ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain: (i) ketersediaan O2 yang lebih tinggi, (ii) keluarnya gas CO2, (iii) ketersediaan hara yang lebih banyak, (iv) penguapan yang lebih cepat dari penghambat yang bersifat folatik, dan (v) cahaya. Jaringan dari eksplan batang, akar atau daun terdiri dari berbagai macam sel sehingga akan menghasilkan kalus yang heterogenous. Bahkan jaringan yang tampak seragam secara histologi seperti pembuluh tembakau dan akar ercis menghasilkan kalus dengan sel dengan DNA yang berbeda karena tingkat ploidi yang berbeda (Yeoman, 1970; Torey, 1961 dalam Gunawan, 1988). Heterogenitas dari sel-sel yang membentuk kalus selain berasal dari materi asalnya juga dapat terjadi karena masa kultur yang panjang melalui subkultur yang berulang-ulang. Menurut Gunawan (1988), perubahan dapat terjadi karena: (i) aberasi kromosom, (ii) mutasi gen, (iii) endoreduplikasi yang menghasilkan poliploidi, (iv) transposisi urutan DNA, (v) amplifikasi gen atau (vi) hiangnya satu gen.
Agar kalus dapat dijaga pertumbuhannya dan dapat diperbanyak secara berkesinambungan, maka perlu dipindahkan secara teratur pada media baru dalam jangka waktu terentu (subkultur). Apabila kalus disubkultur pada media agar yang dilakukan secara regular, maka akan menunjukkan fase pertumbuhan kurva S (sigmoid). Phillips et al., (1995) membagi lima fase pertumbuhan kalus, yaitu:
• Fase lag, dimana sel-sel mulai membelah;
• Fase eksponensial, dimana laju pembelahan sel berada pada puncaknya;
• Fase linear, dimana pembelahan sel mengalami perlambatan tetapi laju ekspansi sel meningkat;
• Fase deselerasi, dimana laju pembelahan dan pemanjangan sel menurun, dan;
• Fase stationer, dimana jumlah dan ukuran sel tetap.
Menurut Thorpe (1982), kalus yang dipelihara dalam kultur sering mengalami perubahan sejalan dengan waktu, antara lain karena: (i) hilangnya hormon pertumbuhan yang diperlukan; (ii) hilangnya potensi morfogenetik, dan (iii) perubahan tekstur morfologis dari jaringan (jaringan yang ”friable”). Semua perubahan tersebut akan menurunkan daya regenerasi jaringan. Dalam beberapa kasus kehilangan daya morfogenetik dari kalus tersebut dapat dikembalikan dengan cara memindahkan kalus pada media yang mengandung sitokinin pada konsentrasi tinggi dalam periode kultur yang singkat atau melakukan subkultur yang berulang pada media untuk pembentukan tunas (Rice, et al., 1978).
2. Kultur Suspensi Sel
Suspensi sel adalah kumpulan atau agregat-agregat sel yang berasal hasil pemindahan potongan kalus kedalam botol kultur berisi medium cair yang disimpan di atas alat penggojok (“gyratory shaker”). Penggojokan dilakukan untuk tujuan penyediaan aerasi bagi sel-sel tersebut, pemecahan gumpalan sel menjadi agregat yang kecil atau sel tungal dan untuk distribusi sel yang merata dalam media kultur. Inisiasi kultur suspensi sel umumnya dilakukan dengan cara yang sederana yaitu dengan memindahkan kalus segar kedalam media cair dalam botol erlenmeyer dan dikocok dengan meletakannya diatas shaker dengan kecepatan antara 70-100 rpm (Gambar D-4.2).
Umumnya sel-sel dalam suspensi menunjukkan laju pembelahan sel yang lebih tinggi dibandingkan dengan sel-sel dalam kultur kalus. Oleh karena itu suspensi sel memberikan keuntungan apabila kita menginginkan pembelahan sel yang cepat dan generasi sel yang banyak atau apabila diperlukan aplikasi perlakuan yang seragam selama prosedur seleksi sel. Pertumbuhan suspensi sel dapat dimonitor berdasarkan satuan volume sel yang berkorelasi dengan pertumbuhan berat segar. Densitas sel dapat diperkirakan dan dipantau mengunakan alat hemacytometer.
Kultur suspensi sel merupakan metoda yang cocok untuk mempelajari metabolisme sel, pengaruh berbagai persenyawaan ada sel, serta diferensiasi sel. Aplikasi kultur suspensi sel banyak digunakan sebagai: (i) sumber sel untuk mendapatkan protoplasma; (ii) sumber sel yang akan diberi perlakuan induksi mutasi; (iii) bahan untuk mempelajari hubungan inang dan penyakit dalam fitopatologi; (iv) metoda produksi bahan metabolit sekunder; dan (v) sumber sel untuk media seleksi.
Sisitim pemeliharaan suspensi sel dapat dilakukan dengan cara kultur batch dan continous. Pada kultur suspensi sel batch, kultur dipelihara dalam media dengan volume tetap tetapi dengan konsentrasi hara yang berubah sesuai dengan tingkat pertumbuhan sel. Pada sistim ini biomasa sel akan bertambah sesuai kurva sigmoid dan setelah mencapai masa tertentu sel akan berhenti membelah karena kehabisan hara atau akumulasi senyawa metabolik yang bersifat toksik. Setelah mencapai fase ini biakan harus diperbaharui dengan cara mensubkultur sebagian sel pada media baru. Suspensi sel dengan sistim berkelanjutan (continuous system) merupakan kultur sel jangka panjang denan suplai hara yang konstan dalam wadah yang relatif lebih besar. Pada sistim ini media kultur dapat ditambahkan atau ganti dengan media baru sehingga sel-sel baru dapat terus dihasilkan. Kultur sel kontinyu terdapat dua tipe yaitu tipe tertutup (closed type) dan tipe terbuka (open type). Pada tipe tertutup, sel akan bertambah terus tanpa dipanen dan hanya media yang disirkulasi. Sedangkan pada tipe terbuka, penambahan media baru disertai dengan pemanenan sel.
Langganan:
Postingan (Atom)